BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pendidikan bagi umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan sama sekali mustahil suatu kelompok manusia (dalam hal ini masyarakat petani) dapat hidup berkembang sejalan aspirasi (cita-cita) untuk maju, sejahtera dan bahagia. Pendidikan sebagai salah satu kebutuhan hidup, salah satu fungsi sosial, sebagai bimbingan, dan sebagai sarana pertumbuhan yang mempersiapkan diri membentuk disiplin hidup.
Pendidikan Nasional bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berbudi luhur, memiliki pengetahuan, keterampilan dan rasa tanggung jawab.
Dalam memajukan pendidikan nasional, peranan orang tua sangat menentukan, khususnya pola pikir orang tua terhadap masa depan anaknya. Dalam hal ini diperlukan pendidikan formal yng harus dijalani oleh anak-anak usia 7 (tujuh) sampai 18 (delapan belas) tahun. Orang tua memiliki peranan penting dalam pengembangan kualitas pendidikan dan tenaga kerja yang sesuai dengan tuntutan kesempatan yang ada
Sebenarnya usia anak dan remaja mempunyai potensi yang sangat positif jika dikembangkan dengan benar, karena masih banyak anak-anak dan remaja yang masih mempertahankan ntradisi dan nilai-nilai agama.
Namun demikian, pendidikan masih merupakan konsep yang belum jelas, bahkan masih terus diperdebatkan di kalangan para orang tua di Kelurahan Gambut yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani. Sebagian besar dari mereka memiliki pandangan bahwa pendidikan di sekolah belum atau tidak mampu menjamin kehidupan yang akan datang. Dilain pihak berpendapat bahwa pendidikan tidak akan pernah memiliki kemampuan untuk mempertahankan tradisi bertani yang mereka jalani. Pandangan terakhir selalu beranggapan bahwa informasi tentang pendidikan sangat mahal harganya, sehingga masyarakat yang kehidupan sehari-harinya bertani sulit untuk mencapainya.
Dengan demikian, masalah kurangnya peranan orang tua dalam membantu menentukan masa depan pendidikan anak-anaknya di Kelurahan Gambut, berkaitan dengan latar belakang budaya yang mereka miliki, hal ini merupakan masalah yang masih akan terus terjadi sepanjang pemikiran seperti ini menjadi halangan kesempatan untuk melanjutkan sekolah. Salah satu contoh empiris dari ketidaksesuaian dalam pendidikan dapat dilihat dari banyaknya anak-anak usia sekolah yang tidak menempuh pendidikan formal, untuk itu penulis merasa sangat tertarik untuk menggali masalah ini lebih dalam.
1.2 Rumusan Masalah.
Berpijak dari uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang masalah, dapat dirumuskan masalah yang akan diteliti dalam hal ini adalah :
Bagaimana pandangan masyarakat petani di Kelurahan Gambut terhadap pendidikan
Pendidikan yang bagaimana yang diperlukan oleh masyarakat petani di Kelurahan Gambut
Hal-hal apa saja yang melatarbelakangi anak-anak petani di Kelurahan Gambut putus/tidak melanjutkan sekolah.
Mengenai pemilihan judul, penulis memilih judul “Pandangan Masyarakat Petani Terhadap Pendidikan Anak di Kelurahan Gambut Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar Tahun 2000-2005”. Penulis secara garis besar ingin melihat sejauh mana tingkat pendidikan yang dijalani oleh masyarakat petani di daerah pertanian di Kelurahan Gambut pada tahun 2000-2005.
1.3 Batasan Masalah
Terkait dengan rumusan masalah diatas yang bersifat umum, maka perlu kiranya memberikan beberapa batasan terhadap masalah-masalah pokok yang hendak diungkapkan.
1.3.1 Batasan Subjek (pelaku)
Batasan subjek meliputi masyarakat petani yang tinggal di sepanjang kawasan pertanian di kelurahan Gambut, khususnya petani pemilik, petani penggarap, petani buruh, dan para tokoh masyarakat setempat yang berpengaruh di Kelurahan Gambut.
1.3.2 Batasan Objek (peristiwa)
Dalam hal ini batasan objek meliputi peristiwa bagaimana pendidikan yang ada pada tahun 2000-2005 di Kelurahan Gambut dan partisipasi masyarakat petani terhadap pendidikan
1.3.3 Batasan Spasial (tempat)
Batasan spasial dalam penulisan skripsi ini meliputi Kelurahan Gambut di Kecamatan gambut Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan.
1.3.4 Batasan Temporal (waktu)
Dalam skripsi ini, batasan temporal yang digunakan adalah kurun waktu dari tahun 2000 sampai tahun 2005, yaitu ketika mulai terjadinya peningkatan partisipasi masyarakat di Kelurahan Gambut dalam pendidikan.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan data-data yang berkaitan dengan pendidikan di Kecamatan Gambut dari tahun 2000 sampai tahun 2005.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini antara lain, sebagai masukan dan memperkaya pengetahuan mahasiswa terutama mahasiswa program studi pendidikan sejarah. Selain itu diharapkan dapat menjadi masukan bagi semua pihak terkait yang ingin mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai gambaran pendidikan di Kelurahan Gambut. Diharapkan juga dapat menjadi pengetahuan bagi masyarakat umum, dan selanjutnya diharapkan dapat berguna bagi pemerintah daerah setempat dalam menyusun sejarah lokal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian masyarakat
Masyarakat adalah sekelompok orang yang menepati satu wilayah yang secara langsung ataupun tidak langsung saling berhubungan dalam usaha-usaha pemenuhan kebutuhannya, terikat sebagai suatu kesatuan sosial melalui perasaan solidaritas oleh karena latar belakang sejarah, politik dan kebudayaan. Seperti halnya dengan definisi sosiologi yang banyak jumlahnya, terdapat pula definisi-definisi tentang masyarakat yang juga tidak sedikit. Definisi adalah sekedar alat yang ringkas untuk memberikan batasan-batasan mengenai suatu persoalan atau pengertian ditinjau dari analisis. Analisis inilah yang memberikan arti yang memberikan arti yang jernih dan kokoh dari suatu pengertian (Suparto, 1987 : 193).
Mengenai arti masyarakat, terdapat beberapa definisi mengenai masyarakat itu, sepertri misalnya :
a. R. LINTON : seorang ahli antropologi mengemukakan bahwa masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerjasama, sehingga mereka itu dapat mengorganisasikan dirinya sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas teretntu.
b. M. J. HERSKOVITZ : Menulis bahwa masyarakat adalah kelompok individu yang diorganisasikan dan mengikuti satu cara hidup tertentu.
c. J. L. GILLIN dan J. P. GILLIN : Mengatakan bahwa masyarakat adalah kelompok manusia yang terbesar dan mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang sama. Masyarakat itu meliputi pengelompokan-pengelompokan yang lebih kecil.
d. S. R. STEINMENTZ : Seorang sosiolog bangsa Belanda, mengatakan bahwa masyarakat adalah kelompok manusia yang terbesar, yang meliputi pengelompokan-pengelompokan yang lebih kecil yang mempunyai perhubungan yang erat dan teratur.
e. HASSAN SHADILY : Mendefinisikan masyarakat adalah golongan besar atau kecil dari beberapa manusia, yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan mempunyai pengaruh kebatinan satu sama lain (Suparto, 1987 : 193-194).
Mengikuti definisi Linton, masyarakat itu timbul dari setiap kumpulan individu, yang telah cukup lama. Kelompok manusia yang dimaksud tersebut yang belum terorganisasikan mengalami proses yang fendamental, yaitu :
a. Adaptasi dan organisasi dari tingkah laku para anggota.
b. Timbul perasaan kelompok secara lambat laun atau I’esprit de corps.
Proses ini biasanya bekerja tanpa disadari dan diikuti oleh semua anggota kelompok dalam suatu coba-coba salah (percobaan). Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa masyarakat dapat mempunyai arti yang luas dan dalam arti yang sempit. Dalam arti luas masyarakat dimaksud keseluruhan hubungan-hubungan dalam hidup bersama tidak dibatasi oleh lingkungan, bangsa dan sebagainya. Atau dengan kata lain : kebutuhan dari semua perhubungan dalam hidup masyarakat. Dalam arti sempit, masyarakat dimaksud adalah sekelompok manusia yang dibatasi oleh aspek-aspek tertentu, misalnya teritorial, bangsa, golongan dan sebagainya. Contohnya : masyarakat Jawa, masyarakat Sunda, masyarakat Minang, masyarakat mahasiswa, masyarakat petani dan sebagainya (Suparto, 1987 : 194).
2.2 Masyarakat petani
Masyarakat petani umumnya berlokasi di daerah pertanian, mempunyai keterkaitan yang relatif kuat terhadap kehidupan tradisional. Pada masyarakat ini berlaku keteraturan-keteraturan kehidupan sosial yang mencakup kegiatan-kegiatan ekonomi, keagamaan dan politik serta hukum yang coraknya sesuai dengan lingkungan hidup setempat (Suparto, 1987 : 197).
Dasar utama dari masyarakat petani ialah lokasi dan perasaan kelompok atau masyarakat tempat itu. Mereka mempunyai ikatan solidaritas yang kuat antara sesamanya sebagai pengaruh kesatuan tempat tinggalnya. Orang-orang dari masyarakat itu ditandai dengan hubungan yang sangat erat dan lebih dalam jika dibandingkan hubungan mereka dengan orang-orang yang berada di luar desanya (Suparto, 1987 : 198).
Antara sesama warga sedesa, masyarakat petani masih saling kenal dan bergaul dengak dekat dan rapat. Sistem kehidupan biasanya berkelompok dan kekeluargaan, dengan mata pencaharian utama bertani disamping pekerjaan sambilan, seperti : bertukang, kerajinan tangan dan lain-lain. Pekerjaan sambilan dimaksudkan untuk mengisi waktu kosong sambil menunggu datangnya musim panen (Suparto, 1987 : 194).
2.3 Peranan orang tua dalam mendidik anak
Pentingnya peranan orang tua dalam menentukan masa depan anaknya, khususnya sebagai motivator dalam kehidupan diperoleh dari pengalaman pribadi dengan melihat langsung ke tempat dilakukan penelitian dan wawancaran langsung kepada orang tua dan anak-anak yang berpendidikan dan tidak berpendidikan di kecamatan Gambut, selain itu, peranan orang tua dalam kehidupan anak di analisa dari buku Prof. Dr. H. Sunanto dan Dra. B. Agung Hantono yang berjudul Perkembangan Peserta Didik Penerbit Debdikbud dan Rineka Cipta Jakarta 1995.
Anggapan sistem pendidikan yang sangat penting dampaknya terhadap masa depan masyarakat di analisa dari buku ciri Demografis Kualitas Penduduk dan Perkembangan Ekonomi yang disunting Aris Ananta. Penerbit Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 1993.
Kehidupan masyarakat petani yang pola pikirnya didasarkan pada tradisi yang kuat, dianalisa dari buku Soejono Soekanto yang berjudul Sosiologi suatu pengatar. Penerbit PT. Rajagrafindo Persada Jakarta (2005 : 154). Dijelaskan golongan orang-orang tua pada masyarakat pedesaan umumnya memegang peranan penting.
Penyebab kurangnya minat mengenyam pendidikan pada masyarakat petani, diantaranya biaya pendidikan, lamanya waktu belajar, dan pendidikan tidak mampu menjamin kesejahteraan diambil dari artikel PPI Jepang dalam situs www. ppi. Jepang org.
Kondisi kehidupan anak-anak yang sampai saat ini belum terwujud sepenuhnya sesuai cita-cita bangsa Karel Tuhehay didalam majalah Pendidikan Gerbang penerbit (P3 UMY Yogyakarta (2003 : 25) dijelaskan karena dihampir semua daerah di Indonesia masih banyak yang mengalami proses marjinalisasi di semua aspek kehidupan. Dan hal ini tentu tidak mendukung proses memasyarakatkan anak sebagai modal pembangunan bangsa yang punya kekuatan untuk melanjutkan tongkat estafet guna menyongsong masyarakat adil dan makmur seutuhnya.
2.4 Pengertian Pendidikan
Pendidikan pada hakektnya adalah usaha sadar manusia untuk mengembangkan kepribadian di dalam maupun di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Oleh karenanya agar pendidikan dapat dimiliki oleh seluruh rakyat sesuai dengan kemampuan masyarakat, maka pendidikan adalah tanggung jawab keluarga, masyarakat dan pemerintah. Tanggung jawab tersebut didasari kesadaran bahwa tinggi rendahnya tingkat pendidikan masyarakat berpengaruh pada kebudayaan suatu daerah, karena bagaimanapun juga, kebudayaan tidak hanya bepangkal dari naluri semata-mata tapi terutama dilahirkan dari proses belajar dalam arti yang sangat luas. Bertolak dari hal tersebut terasa betapa pentingnya pendidikan. Wajar kalau pembangunan pendididkan merupakan bagian organik dari pembangunan nasional secara keseluruhan yang pada hakekatnya adalah pembangunan manusia seutuhnya ( Suryadi, 1982 : 4 ).
2.5 Pendidikan masyarakat petani
Proses pendidikan yang ada pada saat ini, sebenarnya telah lama di laksanakan orang dan merupakan proses yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya engan tujuan yang jelas pula. Dan proses pendidikan yang dialami selalu dihubungkan dengan proses belajarnya, terutama oleh sebagian besar masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan (Soelaiman Joesoef, 1979 : 15).
Sekolah mendidik anak-anak untuk hidup di luar masyarakatmya tidaklah berarti sama sekali tidak ada pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan anak-anak hidup di tengah-tengah masyarakatnya. Maksudnya sekolah tidak menyelenggarakan hal tersebut. Pada kenyataannya, setiap masyarakat desa selalu mempunyai cara-caranya sendiri untuk mendidik anak-anak agar bisa hidup di masyarakatnya. Secara tradisionil ada pengajran informal yang diselenggarakan oleh keluarga dan masyarakat. Pengajaran demikian itu ditunjang oleh orang tua atau pemuka agama yang dianut masyarakat setempat ( A. Suryadi, 1982 : 6-7 ).
Proses belajar yang dimaksud adalah belajar dalam rangka pendidikan formal di sekolah, sejak sekolah rendah sampai ke tingkat yang tertinggi. Sejalan dengan hal tersebut, maka banyak orang beranggapan bahwa bila seseorang telah keluar dari sekolah berarti ia telah selesai proses belajarnya. Bagaimana hidupnya, mereka serahkan pada hasil belajar yang dicapainya sehingga belajar menentukan corak kehidupan seseorang di dalam masyarakat. Bahkan mereka menerima kenyataan ini dengan sepenuhnya, seperti terjadi pada masyarakat pedesaan yang terdiri dari keluarga tani dan buruh yang mempunyai taraf hidup yang masih rendah (Soelaiman Joesoef, 1979:16)
Jadi sekolah merupakan tumpuan hidup seseorang. Dengan kata lain sekolah sebagai ″station in life″ nya seseorang, sehingga dimana ia berhenti sekolah, disitu sudah menunggu nasibnya. Keadaan tersebut telah banyak ditinggalkan orang dan mereka menganggap bahwa belajar di sekolah bukan satu-satunya faktor yang menentukan corak kehidupan orang (Soelaiman Joesoef, 1979:16)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pengertian Penelitian
Penelitian merupakan suatu proses yang panjang, ia berawal pada minat untuk mengetahui fenomena tertentu dan selanjutnya berkembang menjadi gagasan, teori, konsep, pemilihan metode penelitian yang sesuai, dan seterusnya. Hasil akhirnya pada gilirannya melahirkan gagasan dan teori baru sehingga merupakan suatu proses yang tiada hentinya (Masri Singarimbun, 1984 : 4 ).
3.2 Metode Penelitian Deskriptif
Penelitian dan pengkajian dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode deskriptif yang bertujuan menggambarkan pandangan masyarakat petani dalam bidang pendidikan.
3.2.1 Pengertian Metode Penelitian Deskriptif
Menurut Sartono Kartodirdjo, seperti yang dikutip oleh Helius Sjamsuddin, metode adalah bagaimana orang memperoleh pengetahuan (Helius Sjamsuddin, 1994 : 3 ). Menurut Nana Sudjana, metode penelitian deskriptif lebih menekankan kepada strategi , proses dan pendekatan dalam memilih jenis, karateristik serta dimensi ruang dan waktu dari data yang diperlukan.
3.2.2 Tujuan Metode Penelitian Deskriptif
Metode penelitian deskriptif bisa mendeskripsikan satu variable atau lebih dari satu variabel penelitian. Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat – sifat suatu individu, gejala lain dalam masyarakat. (Koentjaraningrat, 1990 :29 ).
Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk pengukuran yang cermat terhadap fenomena social tertentu, misalnya perceraian, pengangguran, keadaan gizi, putus sekolah, preferensi terhadap politik tertentu, dan lain-lain. Peneliti menggembangkan konsep dan menghimpun fakta, tetapi tidak melakukan pengujian hipotesa (Masri Singarimbun, 1984 : 4).
3.3 Sumber Data
Pengertian sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data diperoleh. Menurut Suharsimi Arikunto (1993:114) dalam bukunya Prosedur Penelitian, sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini berasal dari berbagai nara sumber.
Sumber data yang dimanfaatkan dalam penelitian ini meliputi informan, dokumen dan tempat dilakukannya penelitian.
3.3.1 Informan
Yaitu orang yang diwawancarai intuk diminta informasinya tentang pandangan masyarakat petani terhadap pendidikan. Hal ini dapat dilakukan wawancara, yaitu melakukan serangkaian Tanya jawab secara langsung kepada masyarakat petani di Kelurahan Gambut, baik petani pemilik, petani penggarap, dan petani buruh serta tokoh masyarakat setempat agar didapat kesimpulan mengenai persepsi mereka tentang pendidikan.
Wawancara merupakan usaha sekaligus alat yang digunakan untuk mengumpulkan informasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk dijawab secara lisan pula oleh sumber informasi (informan) secara sederhana, wawancara ini diartikan sebagai alat pengumpul data dengan Tanya jawab antara pencari data dengan sumber informasi ( Basri MS, 2006 : 60 ).
Wawancara digunakan untuk menghimpun data sosial dan sejenisnya, sekurang-kurangnya mempunyai tiga fungsi :
(1) Sebagai alat primer, jika data-data atau bukti-bukti tidak lebih dihimpin dengan alat lain.
(2) Sebagai pelengkap, jika sebagian data-data atau bukti-bukti telah diperoleh dengan cara lain, tetapi masih diperlukan wawancara untuk melengkapi informasi.
(3) Sebagai pembanding, yakni untuk menguji atau membandingkan dengan informasi, data, bukti-bukti melalui wawancara dngan bukti yang diperoleh melalui cara lain sebelumnya (Basri MS, 2006 : 61 ).
Adapun alat-alat yang digunakan dalam pengumpulan data antara lain :
(1) Menyediakan daftar pertanyaan sesuai dengan kebutuhan topik permasalahan.
(2) Menyediakan alat perekam dan tustel.
(3) Menyediakan alat tulis untuk pencatatan ( Basri MS, 2006 : 61 ).
3.3.2 Dokumentasi
Teknik pengumpulan data melalui telaah dokumentasi ini merupakan jenis/teknik yang paling banyak dan paling menonjol digunakan dalam penelitian. Istilah lain yang sering digunakan ialah studi kepustakaan atau library research. Dalam kaitan ini, pengertian dokumentasi mencakup pengertian yang luas. Ia meliputi berbagai sumber seperti karya ilmiah, arsip, majalah, dan Koran ( Barsi MS, 2006 : 63 )
Dalam penulisan skripsi ini penulis memperoleh data sekunder dari studi kepustakaan, yaitu dari buku-buku, majalah, koran, dan arsip yang relevan engan objek penelitian untuk melengkapi data-data yang belum didapat dari para narasumber.
3.3.3 Tempat Dilakukannya Penelitian.
Dalam penelitian ini, penulis terjun langsung ke tempat dilakukannya penelitian dengan melakukan pengamatan langsung terhadap kegiatan para petani di Kelurahan Gambut sehari-hari.]
3.4 Analisis Data
Menurut Patton, 1980 (dalam Lexy J. Moleong 2002: 103) menjelaskan bahwa analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikanya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Sedangkan menurut Taylor, (1975: 79) mendefinisikan analisis data sebagai proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan hipotesis (ide) seperti yang disarankan dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan dan tema pada hipotesis. Jika dikaji, pada dasarnya definisi pertama lebih menitikberatkan pengorganisasian data sedangkan yang ke dua lebih menekankan maksud dan tujuan analisis data. Dengan demikian definisi tersebut dapat disintesiskan menjadi: Analisis data proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang didasarkan oleh data.
Analisis data merupakan upaya mencari dan menata data secara sistematis untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain. Proses analisis data dalam penelitian kualitatif dimulai dengan menelaah seluruh data yang terkumpul dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto dan sebagainya. Catatan dibedakan menjadi dua, yaitu yang deskriptif dan yang reflektif (Noeng Muhadjir.2000: 139). Catatan deskriptif lebih menyajikan kejadian daripada ringkasan. Catatan reflektif lebih mengetengahkan kerangka pikiran, ide dan perhatian dari peneliti. Lebih menampilkan komentar peneliti terhadap fenomena yang dihadapi.
Setelah dibaca, dipelajari, dan ditelaah maka langkah berikutnya adalah mengadakan reduksi data dengan jalan membuat abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya. Langkah selanjutnya adalah menyusun dalam satuan-satuan dan kategorisasi dan langkah terakhir adalah menafsirkan dan atau memberikan makna terhadap data.
Analisis data itu dilakukan dalam suatu proses. Proses berarti pelaksanaannya sudah mulai dilakukan sejak pengumpulan data dilakukan dan dikerjakjan secara intensif, yaitu sudah meninggalkan lapangan. Pekerjaan menganalisis data memerlukan usaha pemusatan perhatian dan pengerahan tenaga, pikiran peneliti. Selain menganalisis data. Peneliti juga perlu dan masih perlu mendalami kepustakaan guna mengkonfirmasikan teori atau untuk menjastifikasikan adanya teori baru yang barangkali ditemukan.
3.5 Keabsahan Data
Untuk menghindari kesalahan atau kekeliruan data yang telah terkumpul,perlu dilakukan pengecekan keabsahan data. Pengecekan keabsahan data didasarkan pada kriteria deraja kepercayaan (crebility) dengan teknik trianggulasi,ketekunan pengamatan, pengecekan teman sejawat (Moleong, 2004).
Triangulasi merupakan teknik pengecekan keabsahan data yang didasarkan pada sesuatu di luar data untuk keperluan mengecek atau sebagai pembanding terhadap data yang telah ada (Moleong,200). Trigulasi yang digunakan adalah trigulasi dengan sumber, yaitu membandingkan data hasil observasi, dan hasil wawancara terhadap subjek yang ditekankan pada penerapan metode bantuan alat pada efektif membaca .
Ketekunan pengamatan dilakukan dengan teknik melakukan pengamatan yang diteliti, rinci dan terus menerus selama proses penelitian berlangsung yang diikuti dengan kegiatan wawancara secara intensif terhadap subjek agar data yang dihasilkan terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Pengecekan teman sejawat/kolega dilakukan dalam bentuk diskusi mengenai proses dan hasil penelitian dengan harapan untuk memperoleh masukan baik dari segi metodelogi maupun pelaksanaan tindakan.
BAB V
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN MASYARAKAT KELURAHAN GAMBUT
3.1. Pendidikan Masyarakat Gambut
Dalam definisi alternatif atau luas terbatas, pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan, yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat, untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat di masa yang akan datang. Pendidikan adalah pengalaman–pengalaman belajar terprogram dalam bentuk pendidikan formal, non formal, dan informal di sekolah, dan di luar sekolah, yang berlangsung seumur hidup yang bertujuan optimalisasi pertimbangan kemampuan-kemampuan individu, agar dikemudian hari dapat memainkan peranan hidup secara tepat (Redja Mudyahardjo, 2002 : 11).
Bidang dan peranan pendidikan mempunyai pengaruh yang sangat menentukan terhadap status sosial dan corak budaya serta merupakan barometer bagi suatu masyarakat (Fudiat Suryadikara, 1979:14). Bagi penduduk Kelurahan Gambut, dalam masalah pendidikan dapat dikategorikan cukup memuaskan, terutama jumlah jenis sekolah, karena hampir semua jenis sekolah dari yang rendah (taman kanak-kanak) hingga sekolah menengah, baik yang bercorak umum maupun yang bercorak keagamaan terdapat disini. Sebagian besar sekolah-sekolah tersebut dikelola oleh pemerintah, selain itu pihak swasta atau masyarakat juga mengambil bagian dalam usaha membenahi masalah pendidikan ini, khususnya dalam pendidikan yang bercorak keagamaan.
Sesuai dengan keadaan masyarakat Gambut yang agamis dan mayoritas penduduknya beragama Islam, maka hampir pada setiap beberapa kilometer terdapat sekolah-sekolah yang bercorak keagamaan atau madrasah. Disinilah nilai-nilai keagamaan secara formal mulai ditanamkan kepada anak-anak dengan harapan kalau sudah dewasa mereka akan menjadi penganut agama yang baik.
Madrasah sebagai salah satu jenis dan lembaga pendidikan formal yang banyak berorientasi kepada masalah-masalah keagamaan, merupakan dasar pertama dalam pembinaan kesadaran beragama dalam masyarakat Gambut. Sementara itu bagi anak-anak yang tidak melalui madrasah atau sekolah-sekolah agama, maka dalam usaha pendidikan dan pembinaan kesadaran beragama tersedia wadah-wadah pendidikan non formal yang diselenggarakan oleh masyarakat berupa pengajian-pengajian agama atau penerangan-penerangan agama dan sebagainya. Karena itu banyak juga diantara mereka yang mengunjungi pengajian-pengajian atau penerangan-penerangan tersebut, baik secara rutin maupun sewaktu-waktu. Ada yang atas dasar kesadarannya sendiri sebagai akibat dari pengaruh lingkungan dan ada pula karena dorongan dan wibawa dari orang tua. (Fudiat Suryadikara, 1979:16)
3.2. Pendidikan Yang Ada Di Kelurahan Gambut
Di Kelurahan Gambut, terdapat 2 jenis pendidikan formal, yaitu pendidikan yang bersifat umum dan pendidikan yang bersifat keagamaan.
3.2.1 Pendidikan Umum
Adapun pendidikan yang bersifat umum di Kelurahan Gambut adalah:
a. Taman Kanak-Kanak (disingkat TK)
Merupakan jenjang pendidikan anak usia dini (yakni usia 6 tahun atau di bawahnya) dalam bentuk pendidikan formal. Kurikulum TK ditekankan pada pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Lama belajar seorang siswa TK biasanya tergantung pada tingkat kecerdasan anak yang dinilai dari rapor per semester. Namun secara umum untuk lulus dari tingkat program di TK adalah 2 tahun, yaitu : TK O (nol) Kecil (TK Kecil) selama satu tahun dan TK O (nol) Besar (TK Besar) selama satu tahun.
Umur rata-rata minimal anak mulai dapat disekolahkan ke sebuah taman kanak-kanak adalah 4-5 tahun. Sedangkan umur rata-rata untuk lulus dari TK adalah 6-7 tahun. Setelah lulus dari TK, atau pendidikan formal dan non formal lainnya yang sederajat, siswa kemudian melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi diatasnya yaitu Sekolah Dasar atau yang sederajat (www.wikipedia.org).
Di Kelurahan Gambut sampai tahun 2005, tercatat sekolah Taman Kanak-kanak sejumlah 3 sekolah dengan kondisi sebagian rusak. Taman Kanak-kanak ini dibagi dalam dua : bagian A untuk anak-anak umur 4 tahun, dan bagian B untuk anak umur 5 tahun, dan merupakan kelas-kelas persiapan bagi Sekolah Dasar.
Dalam wawancara (Kamis, 29 Mei 2008), dengan guru-guru TK di TK Mutiara salah satu sekolah Taman Kanak-kanak di Kelurahan Gambut, diperoleh informasi tiap kelas diisi oleh kurang lebih 15 sampai 20 orang deri tahun 2000 sampai 2005. mereka merupakan anak-anak dari berbagai kalangan, orang tuanya 30 persen bermatapencaharian sebagai petani dan selebihnya bekerja di bidang lain, baik pegawai negeri ataupun swasta.
Dalam wawancara juga diperoleh informasi tentang kegiatan-kegiatan anak dalam pelajaran di sekolah TK yang memperhatikan 3 hal:
1. Perkembangan anak
Baik perkembangan jasmani maupun rohani harus diintegrasikan pada kebutuhan-kebutuhan anak.
2. Alam sekitar anak
Segala kegiatan harus berorientasi pada keadaan materiil. Segala alat-alat haraplah dicari di alam sekitar sendiri, dan hendaklah serba sederhana adanya.
3. Lingkungan Sosial
Kesadaran bahwa anak termasuk dan tergolong dalam masyarakat, harus dipupuk, sehingga anak berkembang menjadi manusia sosialis
b. Sekolah Dasar (disingkat SD)
Adalah jenjang paling dasar pada pendidikan formal di Indonesia. Pendidikan Dasar ini dilancarkan oleh UNESCO pada tahun 1949,terutama untuk “menolong masyarakat untuk mencapai kemajuan sosial ekonomi, agar demikian merka dapat menduduki tempat yang layak dalam dunia modern”. Pendidikan ini jelas ditujukan kepada masyarakat dan daerah yang terbelakang agar masyarakat dan daerah dapat menyamai dengan masyarakat sekitarnya yang lebih maju. Pendidakan ini di tempuh selama 6 tahun. Karena pendidikan ini merupakan pendidikan dasar maka materinya pun sederhana, seperti :
Kecakapan berfikir dan bergaul
- Kecakapan kerajinan dan kesenian
- Pendidikan kesehatan
- Pengetahuan tentang lingkungan alam
- Pendidikan jiwa dan akhlak (soelaiman Joesoef, 1979 : 6)
SD di Kelurahan Gambut, Sekolah Dasar sampai tahun 2005 tercatat berjumlah 9 sekolah dengan kondisi baik. Sekolah Dasar di Kelurahan Gambut terdiri dari Sekolah Dasar Negeri yang berjumlah 5 sekolah dan Sekolah Dasar Inpres yang berjumlah 4 sekolah.
Dalam wawancara (Kamis, 29 Mei 2008) dengan guru-guru Sekolah Dasar di SDN Gambut 3, diperoleh informasi dari tahun 2000 sampai 2005 tiap kelas diisi rata-rata 10 sampai 15 orang siswa. Mereka merupakan anak-anak dari petani sekitar 30 sampai 40 persen, dn selebihnya adalah anak-anak yang orang tuanya bekerja di bidang lain.
Sekolah Dasar di Kelurahan Gambut merupakan lembaga pendidikan yang memberi dasar-dasar pengetahuan dan kecakapan, dan memberikan kesempatan bagi anak tamatan Sekolah Dasar untuk melanjutkan pelajarannya ke sekolah yang lebih tinggi.
Tujuan pendidikan SD menurut kurikulum 1994 adalah :
1. Memberikan bekal kemampuan dasar Baca-Tulis-Hitung, pengetahuan dan keterampilan dasar yang bermanfaat bagi murid sesuai dengan tingkat perkembangannya,
2. Mempersiapkan anak didik mengikuti pendidikan SLTP (Redja Mudyahardjo, 2002 : 450-451)
Di Kelurahan Gambut, struktur program pendidikan SD-nya berdasarkan kurikulum 1994, yang mencakup mata-mata pelajaran : (1) Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, (2) Pendidikan Agama, (3) Bahasa Indonesia, (4) Matematika, (5) Ilmu Pengetahuan Alam, (6) Ilmu Pengetahuan Sosial, (7) Keterampilan Tangan dan Kesenian, (8) Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, dan (9) Muatan Lokal.
c. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (disingkat SLTP)
Adalah pendidikan setelah Sekolah Dasar dan pengelolaannya dilakukan oleh Departemen Pendidikan. Pendidikan SLTP ditempuh dalam waktu 3 tahun mulai dari kelas 7 sampai kelas 9.
Di Kelurahan Gambut, sampai tahun 2005, terdapat 1 SLTP yang bernama SMPN 1 Gambut dengan kondisi sekolah baik. Di SMPN 1 Gambut sampai tahun 2005, terdiri dari 12 ruang kelas, 37 orang guru dan dengan jumlah murid 386 orang, yaitu 181 orang murid laki-laki dan 205 orang murid perempuan.
Tujuan pendidikan dasar yang diselenggarakan di SLTP menurut kurikulum SLTP 1994, yaitu :
1. Membicarakan kemampuan dasar yang merupakan perluasan serta peningkatan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh di Sekolah Dasar yang bermanfaat bagi siswa untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan warga negara sesuai dengan tingkat perkembangannya.
2. Mempersiapkan mereka untuk mengikuti pendidikan menengah (Redja Mudyahardjo, 2002 : 450-451).
Di SMPN 1 Gambut, program kurikulumnya mengikuti kurikulum SLTP 1994 yang mencakup 10 mata pelajaran, yaitu : (1) Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, (2) Pendidikan Agama, (3) Bahasa Indonesia, (4) Matematika, (5) Ilmu Pengetahuan Alam, (6) Ilmu Pengetahuan Sosial, (7) Keterampilan Tangan dan Kesenian, (8) Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, (9) Bahasa Inggris dan (10) Muatan Lokal.
d. Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (disingkat SLTA)
Adalah pendidikan yang ditujukan kepada masyarakat pemuda yang perlu mendapatkan pendidikan secukupnya menjelang memasuki gerbang kehidupan dewasa dengan memberi satu atau beberapa keahlian dan ataupun pengetahuan yang bersifat umum agar kelak dapat dipakai sebagai alat mencari pekerjaan atau nafkah (soelaiman Joesoef, 1979 : 5).
Pendidikan SLTA ditempuh dalam waktu 3 tahun mulai dari kelas 10 sampai kelas 12.
Di Kelurahan Gambut, sampai tahun 2005, terdapat 1 SLTA yang bernama SMAN 1 Gambut dengan kondisi sekolah baik. Di SMAN 1 Gambut sampai tahun 2005, terdiri dari 17 ruang kelas, 37 orang guru dan dengan jumlah murid 677 orang, yaitu 313 orang murid laki-laki dan 364 orang murid perempuan
Tujuan pendidikan SMA menurut kurikulum SMA 1994 yaitu :
1. Meningkatkan pengetahuan siswa untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi dan mengembangkan diri sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian.
2. Meningkatkan kemampuan siswa sebagai anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitarnya (Redja Mudyahardjo, 2002 : 462).
3.2.2. Pendidikan Bersifat Agama
Madrasah adalah lembaga pendidikan yang menggunakan kata madrasah, yang berasal dari kata darasa (belajar). Jadi madrasah berarti tempat belajar. Secara fungsional, madrasah mrupakan lembaga pendidikan yang datang ke dunia pendidikan slam di Indonesia pertama sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan pendidikan islam pada jamannya, terutama adanya tantangan dari Belanda sehubungan dengan politik etisnya yang melahirkan bantuan untuk memajukan usaha pendidikan. Kedua, adanya usaha penyempurnaan sistem pesantren kearah suatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum, terutama kesempatan kerja ( Sadali, 1984 : 199 ).
Madrasah sebagai fungsi pendidikan berfungsi sebagai penghubung antara sistem yang lama dan sistem yang baru, atau sebagai suatu pembaharuan yang berusaha mempertahankan nilai-nilai lama yang baik dan mengambil hal-hal baru (science, teknologi dan ekonomi) yang lebih baik ( Sadili, 1984 : 200).
Adapun sekolah sekolah yang bersifat keagamaan di Kelurahan Gambut adalah:
a. Madrasah Ibtidaiyah (disingkat MI)
Adalah jenjang paling dasar pada pendidikan formal di Indonesia, setara dengan Sekolah Dasar, yang pengelolaannya dilakukan oleh Departemen Agama. Pendidikan Madrasah Ibtidaiyah ditempuh dalam waktu 6 tahun, mulai dari kelas 1 sampai kelas 6. Lulusan Madrasah Ibtidaiyah dapat melanjutkan pendidikan ke Madrasah Tsanawiyah atau Sekolah Menengah Pertama.
Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah sama dengan kurikulum Sekolah Dasar, hanya saja pada MI terdapat porsi lebih banyak mengenai Pendidikan Agama Islam. Di Kelurahan Gambut terdapat 2 MI, yaitu MIN Gambut dan MI Hidayatul Islamiyah Gambut. MIN Gambut sampai tahun 2005, terdiri dari 6 ruang kelas, 22 orang guru dan dengan jumlah murid 147 orang, yaitu 83 orang murid laki-laki dan 64 orang murid perempuan. Sedangakan di MI Hidayatul Islamiyah Gambut sampai tahun 2005, terdiri dari 6 ruang kelas, 10 orang guru dan dengan jumlah murid 32 orang, yaitu 17 orang murid laki-laki dan 15 orang murid perempuan.
Di MI Hidayatul Islamiyah Gambut diisi oleh anak-anak yang kebanyakan dari keluarga petani (60%), dari 32 orang siswa, 19 orang merupakan anak petani, dan 13 orang lainnya merupakan anak dari pegawai dan pedagang.
b. Madrasah Tsanawiyah (disingkat MTs)
Adalah adalah jenjang paling dasar pada pendidikan formal di Indonesia, setara dengan Sekolah Menengah Pertama, yang pengelolaannya dilakukan oleh Departemen Agama. Pendidikan Madrasah Tsanawiyah ditempuh dalam waktu 3 tahun, mulai dari kelas 7 sampai kelas 9. Lulusan Madrasah Tsanawiyah dapat melanjutkan pendidikan ke Madrasah Aliyah atau Sekolah Menengah Atas Kurikulum Madrasah Tsanawiyah sama dengan kurikulum Sekolah Menengah Pertama, hanya saja pada MTs terdapat porsi lebih banyak mengenai Pendidikan Agama Islam.
Di Kelurahan Gambut, sampai tahun 2005, terdapat 1 MTs yang bernama MTs 1 Gambut dengan kondisi sekolah baik. Di MTs 1 Gambut sampai tahun 2005, terdiri dari 13 ruang kelas, 38 orang guru dan dengan jumlah murid 458 orang, yaitu 201 orang murid laki-laki dan 257 orang murid perempuan.
c. Madrasah Aliyah (disingkat MA)
adalah adalah jenjang paling dasar pada pendidikan formal di Indonesia, setara dengan Sekolah Menengah Atas, yang pengelolaannya dilakukan oleh Departemen Agama. Pendidikan Madrasah Aliyah ditempuh dalam waktu 3 tahun, mulai dari kelas 10 sampai kelas 12.
Pada tahun kedua (yakni kelas 11), seperti halnya siswa SMA, siswa MA memilih salah satu dari 4 jurusan yang ada, yaitu Ilmu Alam, Ilmu Sosial, Ilmu-Ilmu Keagamaan Islam, dan Bahasa. Pada akhir tahun ketiga (yakni kelas 12), siswa diwajibkan mengikuti Ujian Nasional (dahulu Ebtanas) yang mempengaruhi kelulusan siswa. Lulusan Madrasah Aliyah dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan Tinggi Umum atau Perguruan Tinggi Agama (Islam) atau langsung bekerja.
Kurikulum Madrasah Aliyah sama dengan Kurikulum Sekolah Menengah Atas, hanya saja pada MA terdapat porsi lebih banyak muatan Pendidikann Agama Islam, yaitu Fikih, aqidah ahlak, Al Quran, Hadist, Bahasa Arab dan sejarah Islam (Sejarah Kebudayaan Islam).
Pelajar Madrasah Aliyah umumnya berusia 16-18 tahun. SMA/MA tidak termasuk program wajib belajar pemerintah, sebagaimana siswa Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah 6 tahun dan Sekolah Menengah Pertama atau Madrasah Tsanawiyah 3 tahun (www.wikipedia.org).
Di Kelurahan Gambut, sampai tahun 2005, terdapat 1 MAN yang bernama MAN 1 Gambut dengan kondisi sekolah baik. Di MAN 1 Gambut sampai tahun 2005, terdiri dari 10 ruang kelas, 37 orang guru dan dengan jumlah murid 382 orang, yaitu 128 orang murid laki-laki dan 254 orang murid perempuan.
3.2.3 Pendidikan Masyarakat
Tujuan pendidikan masyarakat di lingkungan Kelurahan Gambut adalah sama dengan tujuan hidup Islam, yaitu mengabdi sepenuhnya kepada Allah, sesuai dengan ajaran yang disampaikan Nabi Muhammad SAW. dalam bentuk Al-Quran, serta perkataan, tingkah laku dan perbuatan nabi sendiri (sunnah), untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Adapun bentuk-bentuk pendidikan masyarakat di Kelurahan Gambut antara lain :
a. Pengajian
Di tiap RT di lingkungan Kelurahan Gambut, warga biasanya membentuk acara-acara pengajian. Yaitu pendidikan yang membahas tentang kehidupan keagamaan. Biasanya dilakukan di mesjid atau langgar yang dipimpin oleh seorang ulama dengan cara memberikan ceramah kepada masyarakat yang datang mengikuti pengajian. Biasanya pengajian diikuti ibu-ibu, bapak-bapak, dan kadang-kadang remaja.
b. TPA
Di kelurahan Gambut terdapat beberapa Taman Pengajian Al-Quran (TPA). TPA memberikan kesempatan kepada anak-anak dari semua kalangan untuk belajar mengaji dan mengerti fikih. Biasanya yang mengikuti pembelajaran di TPA adalah anak-anak SD atau MI. Pengajar-pengajar TPA ini adalah guru-guru agama atau guru MI.
Pendidikan di TPA dilaksanakan di langgar/surau pada sore hari dengan program belajar :
(1) Membaca Al-Quran, termasuk belajar huruf hijaiah
(2) Ibadat seperti berwudhu, shalat, dan lain-lain
(3) Keimanan atau sifat 20
(4) Akhlak dengan cerita-cerita.
BAB VI
PANDANGAN MASYARAKAT PETANI KELURAHAN GAMBUT TERHADAP PENDIDIKAN
6.1 Masyarakat Petani Kelurahan Gambut
Pada masyarakat petani di Kelurahan Gambut, hidup penduduknya sangat tergantung dari tanah, dengan selalu bekerjasama untuk memenuhi keperluannya dan kepentingannya. Contohnya : waktu pembukaan tanah baru atau waktu musim tanam mereka bekerja secara bersama-sama, karena mengolah tanah memerlukan tenaga yang banyak dan sulit untuk dilakukan oleh satu keluarga saja. Lama kelamaan timbullah kemasyarakatan yang dinamakan gotong royong.
Pembagian masyarakat pedesaan yang memegang peranan penting adalah dari mereka yang tergolong orang tua, yang selalu dimintai petunjuk dan nasehatnya apabila ada masalah dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Golongan orang-orang tua mempunyai pandangan yang sangat tradisional. Akibatnya kalau ada pembaharuan atau perubahan-perubahan tentang sesuatu yang baru akan menemui kesulitan.
Pengendalian sosial masyarakat di Kelurahan Gambut dirasakan sangat kuat, sehingga perkembangan jiwa individu sulit untuk dilaksanakan. Rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya alat-alat komunikasi merupakan faktor yang secara tidak langsung ikut mempersulit untuk merubah jalan fikiran ke arah jalan fikiran yang bersifat ekonomis.
Salah satu ciri terpenting masyarakat pertanian yang membedakannya dari masyarakat industri adalah makna kelompok primer sebagai unsur yang membentuk masyarakat. Kelompok primer ditandai oleh kecilnya kelompok, lemahnya tingkat formalisasi, baik fungsi yang dipikul oleh kelompok, maupun persatuan dan solidaritas anggota kelompok, begitu juga lemahnya keterkaitan dengan norma-norma kelompok. Mereka ini dalam semua masyarakat pertanian lebih penting artinya dibandingkan kelompok sekunder yang bercirikan organisasi rasional, berorientasi ketujuan yang spesifik dan mempunyai jumlah anggota yang lebih banyak.
Kelompok sekunder sangat dibutuhkan tidak hanya dimasyarakat industri, tetapi juga dalam masyarakat pertanian di negara sedang berkembang yang sedang menghadapi proses modernisasi. Tetapi sampai saat ini masyarakat petani Kelurahan Gambut kurang membuat terobosan, seperti yang diharapkan pemerintah, partai dan agen pembangunan. Contoh yang khas adalah koperasi di negara sedang berkembang yang dengan alasan demi kemakmuran ekonomi sering dibangun sebagai organisasi besar bersama. Tetapi justru karena alasan inilah di dalam masyarakat yang kelompok primernya menonjol koperasi ini sering tidak berkembang.
Keluarga besar dalam masyarakat petani bisa saja terdiri dari orang tua, anak-anak lelaki yang sudah menikah dengan istri-istri mereka, anak-anak yang belum menikah dan mungkin juga ada kerabat yang belum menikah, maka bisa disebutkan enam fungsi potensial yang jarang dilakukan secara serentak :
a. Tinggal bersama
Semua anggota hidup di suatu rumah atau di satu halaman rumah.
b. Tumah tangga bersama
Anggota keluarga masak, makan dan mendidik anak bersama-sama. Keluarga inti anak-anak yang telah menikah paling cepat memisahkan diri dari pengadaan bahan makanan bersama, sedangkan dalam pendidikan anak mereka masih bertahan lebih lama.
c. Produksi bersama
Orang tua, anak dan kerabat lainnya mengolah tanah bersama. Anak-anak keluar dari fungsi ini jika membangun keluarga sendiri atau beberapa waktu berselang. Kemandirian ini mudah, apabila tersedia cukup tanah dan biaya pengadaan alat usahanya tidak banyak juga dimana muncul beberapa usaha pertanian yang mandiri, dibidang teretntu masih dipertahankan kerjasama yang erat dengan ayah atau diantara saudara-saudaranya, misalnya membantu kerja, menyediakan tenaga tambahan atau tenaga kerja lainnya.
d. Pembagian alat-alat produksi
Tanah yang merupakan milik bersama, akan dibagikan oleh kepala desa atau pimpinan keluarga kepada setiap orang yang berhak mengolahnya.
e. Penopang solidaritas dan jaminan sosial
Hal-hal yang terlalu mahal secara ekonomi bagi seseorang atau keluarga kecil tertentu, diambil alih oleh ikatan keluarga. Misal pembiayaan pendidikan yang mahal dan terutama tunjangan kepada anggota keluarga yang sudah tua dan yang sedang dalam kesulitan.
f. Wewenang membuat keputusan ekonomi yang penting
Terutama sekali dilakukan jika kegiatan baru membutuhkan ongkos tinggi dan mengandung resiko besar, tetua desa mempunyai pengaruh besar. Fungsi dijalankan berdasarkan prinsip senioritas dalam masyarakat tani, begitu juga usaha untuk tetap berpegang pada fungsi kelima : siapa ikut menanggung resiko, dia pun memperoleh hal ikut menentukan.
Setelah keluarga, kelompok primer yang terpenting di dalam masyarakat pertanian di Kelurahan Gambut adalah lingkungan tetangga dan teman. Dalam daerah pemukiman yang letaknya berpencaran, tetangga saling tergantung satu sama lain. Begitu juga dalam pemukiman-pemukiman desa, tetangga merupakan elemen yang mendorong terbentuknya kelompok. Seringkali terdapat usaha yang formal, seperti misalnya semua anggota pemukiman tertentu ikut membantu dalam pembangunan rumah baru untuk seorang tetangga, bekerjasama membuat sumur atau tugas-tugas lain demi kepentingan bersama.
Kerjasama ini semakin berkurang akibat indiviudualisme yang semakin meningkat sampai ke ikatan desa. Yang lebih sering adalah kerjasama informal, terutama membantu dengan peralatan atau dengan tenaga kerja pada akhir suatu periode kerja. Syarat untuk kerjasama demikian terutama adalah keanggotaan dalam lapisan sosial yang sama dan sering juga kelompok umur yang sama. Seorang petani kecil akan lebih senang pergi ke petani kecil lainnya yang tinggal jauh, daripada ke tetangga didekatnya yang merupakan petani kaya dan bahkan sama sekali tidak ke petani yang tanpa tanah.
Persoalan bahwa pendidikan dianggap cukup banyak bagi anak-anak petani walau hanya sampai sekolah dasar, hanyalah salah satu dari sekian penyebab rendahnya pendidikan di daerah pertanian. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, mayuoritas orang tua yang diwawancarai menjawab bahwa putus sekolah karena tidak mampu dalam pembiayaan menjadi alasan utama. Dengan kata lain karena masalah ekonomi, anak-anak harus diharapkan dengan alternatif mencari nafkah.
6.2 Pelapisan Sosial Masyarakat Pertanian di Kelurahan Gambut
Masyarakat Kelurahan Gambut mayoritas hidup di daerah pedesaan, dengan mata pencaharian di sektor pertanian. Pada umumnya mereka sangat tergantung kepada tanah yang dimiliki. Tanah merupakan faktor penting dalam produksi pertanian di Kelurahan Gambut, sekaligus merupakan Faktor penting dalam mempengaruhi hubungan sosial masyarakat. Sehingga nilai ekonomi, sosial, politik dan tanah menjadi sangat penting.
Pada masyarakat yang mayoritas warganya hidup dengan mengandalkan tanah sebagai lahan pertanian, lazimnya struktur sosial masyarakatnya didasarkan atas status kepemilikan tanah. Hubungan produksi yang berkaitan dengan kepemilikan tanah akan berpengaruh pada hubungan-hubungan sosial masyarakat. Pada gilirannya akan berpengaruh pada pelapisan social masyarakat. Sehingga, pemilikan atas tanah merupakan suatu sub dimensi pelapisan sosial masyarakat pertanian di Kelurahan Gambut. Pemilik tanah dianggap lebih tinggi kedudukannya dibanding penyewa tanah (petani penggarap) dan buruh tani.
Pola kehidupan masyarakat pertanian di Kelurahan Gambut umumnya bersifat komunal (mementingkan kepentingan umum), yang ditandai dengan ciri-ciri masyarakatnya yang homogen, hubungan sosialnya bersifat personal, saling mengenal serta adanya kedekatan hubungan yang lebih intim. Gambaran semacam itu oleh Ferdinand Tonnies disebut tipe masyarakat “Gemeinschaff”, yang istilah dalam bahasa Indonesia-nya adalah masyarakat paguyuban. Masyarakat Gemeinschaff adalah masyarakat yang ditandai dengan hubungan anggota-anggotanya bersifat pribadi, sehingga menimbulkan ikatan yang sanagt mendalam dan batiniah. Lawan dari Gemeinschaff adalah Gesselschaff. Masyarakat Gesselschaff adalah amsyarakat yang kehidupan anggitanya lebih mengutamakan kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan, serta memperhitungkan untung rugi ( Scoot, James, 1994 : 2 ).
Secara umum, masyarakat Gemeinschaff memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Pendidikan bersifat non formal yang diberikan dari orang tua pendahulu mereka.
b. Hubungan kekerabatan dan terhadap masyarakat setempat sangat kuat.
c. Kepercayaan yang kuat terhadap kekuatan yang berada di luar yang berbau magis dan gaib.
d. Tingkat deferensisasi dan spesialisasi rendah.
e. Media komunikasi lisan dan tatap muka.
f. Teknologi sederhana.
g. Kepemimpinan bersifat keturunan.
Sedangkan masyarakat Gesselschaff memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Berfikir rasional dan berorientasi pada perubahan dan inovasi baru.
b. Tingkat diferensasi dan spesialisasi tinggi.
c. Mengenal teknologi tinggi.
d. Pemimpin berdasar pada kualitas pribadi.
e. Komunikasi dilakukan tidak langsung dan menggunakan media elektronik ( Scoot, James, 1994 : 3 ).
Dalam perkembangannya, masyarakat petani di Kelurahan Gambut mengalami pergeseran dalam mengakomodasi unsur-unsur baru, sehingga dikenal ada petani tradisional dan ada petani modern. Berikut ciri-ciri keduanya :
Petani Tradisional
Petani Modern
Satuan usaha kecil-kecil, pemilikan berdasarkan adapt dan tradisi.
Penggunaan tenaga kerja keluarga.
Produksi ditujukan untuk konsumsi keluarga.
motivasi kerja untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
dikelola secara komunal.
gaya hidupnya bersahaja atau petani berlumpur
1. Lahan kegiatannya luas.
2. Pemilikan tanah diresmikan oleh pemerintah
3. Banyak memperkerjakan tenaga dari luar
4. hasil produksinya untuk di jual ke pasaran
5. Motivasi untuk bisnis.
6. pengelolaan secara modern.
7. gaya hidup perkotaan.
Mengingat kedudukan tanah pertanian yang sangat penting sehingga mempengaruhi pola hubungan sosialnya, maka struktur kepemilikan tanah masyarakat pertanian menentukan sistem pelapisan sosial anggota-anggotnya. Secara umum, pelapisan sosial masyarakat di Kelurahan Gambut terdiri atas :
tuan tanah/pemilik tanah.
Kelas penyewa.
Kelas pedagang.
Kelas rohaniawan.
Kelas petani.
Kelas seniman.
Kelas sampah masyarakat.
Empat yang disebut pertama merupakan kelompok kelas yang mempunyai hak-hak istimewa.
Sedangkan pelapisan sosial masyarakat pertanian di Kelurahan Gambut tersusun atas lapisan-lapisan sebagai berikut:
a. lapisan pertama, terdiri dari mereka yang tanahnya sangat luas. Tanah-tanah tersebut disewakan kepada pihak lain. Mereka ini disebut golongan tuan tanah atau pemilik tanah/ petani pemilik.
b. Lapisan kedua, mereka yang menggarap tanah. Mereka ini di sebut dengan petani penggarap.
c. Lapian ketiga, mereka tidak mempunyai tanah serta tidak mampu menyewa. Mereka hanya sebagai buruh, sehingga di sebut buruh tani.
6.3 Latar Belakang Pendidikan Masyarakat Petani
Dalam masyarakat petani di Kelurahan Gambut, latar belakang budaya dalam menyekolahkan anak tidak begitu besar dibandingkan dengan mengajarkan anak pada sektor-sektor pertanian, seperti mengolah tanah, menanam, dan memanen.
Pendidikan kepala rumah tangga mempunyai pengaruh besar terhadap pendidikan anak-anaknya. Orang tua dengan pendidikan yang tinggi akan mempunyai persepsi (pemahaman) dan motivasi yang cukup besar untuk mendorong agar anaknya berpendidikan tinggi pula.
Pengaruh tingkat pendidikan kepala rumah tangga terhadap tingkat pendidikan di kalangan masyarakat petani masih tetap besar. Kepala rumah tangga yang tidak sekolah mempunyai kemungkinan besar akan kurang memahami apalagi untuk memberikan motivasi bagi kelangsungan pendidikan anaknya di sekolah menengah ditambah kemungkinan lainnya seperti kemiskinan, keluarga, sehingga tidak mampu menyekolahkan anaknya sampai tamat.
Jumlah penduduk di Kelurahan Gambut yang berumur 5 tahun keatas dan pendidikan tertinggi yang ditamatkan sampai tahun 2005
Tingkatan
Jumlah orang
Tidak/belum tamat SD/sederajad
3.327
SD
3.952
SLTP
2.293
SLTA
2.772
Diploma I/II
134
Akademi
127
PT
228
Jumlah
12.733
Sumber: Monografi Kelurahan Gambut tahun 2005
Jumlah penduduk Kelurahan Gambut sampai tahun 2005 mencapai 14.094, dari jumlah tabel di atas, sisanya sebanyak 1.361 adalah penduduk di bawah usia 5 tahun.
Sedangkan pendidikan petani di Kelurahan Gambut adalah berdasarkan sample di Handil Bumi Putera dari 139 orang penduduknya, 80 orang adalah petani, hal ini berarti 57 % adalah petani.
Pekerjaan
Jumlah
Persentase
Pendidikan
Anak-anak
47
34%
Belum/sedang sekolah
Petani Pekerja
80
57%
SD-SLTP
Pegawai/karyawan
12
9%
Minimal SLTA
139
100%
Sumber: Data Ketua RT 08 Kelurahan Gambut
Sedangkan pendidikan petani berdasarkan sample di handi Negara, dari 242 orang penduduknya, 142 orang adalah petani.
Pekerjaan
Jumlah
Persentase
Pendidikan
Anak-anak
72
30%
Belum/sedang sekolah
Petani Pekerja
142
58%
SD-SLTP
Pegawai/karyawan
30
12%
Minimal SLTA
242
100%
Sumber : Data Ketua RT 13 Kelurahan Gambut
Dengan demikian, tingkat pendidikan masyarakat petani di Kelurahan Gambut adalalah dari Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Jarang dari penduduk di Kelurahan Gambut yang selesai Sekolah Menengah Tingkat Atas menjalani pekerjaan sebagai petani, mereka biasanya lebih memilih bekerja sebagai karyawan toko, ataupun jenis pekerjaan lain selain di sektor pertanian.
6.3.1 Budaya Menyekolahkan Anak
Bagi sebagian masyarakat petani di Kelurahan Gambut, upaya perbaikan status dilakukan dengan mengutamakan pendidikan anak-anak mereka, dengan prinsip bahwa pendidikan anak harus lebih baik dari pada pendidikan orang tuanya, karena tantangan yang akan dihadapi anak di masa yang akan datang jauh lebih kompleks dan rumit. Memang semangat masyarakatnya untuk mendidik anak-anak dengan banyaknya anak-anak di Kelurahan Gambut yang berstatus bersekolah, masyarakat ini juga sangat mempertahankan dan meningkatkan keimanan serta pengetahuan agama yang dimiliki anggota keluarganya. Aspek pendidikan agama mendapat perhatian yang besar dari masyarakat, sekalipun ditempuh melalui jalur pendidikan non formal dan dilakukan secara sederhana dalam bentuk kegiatan keagamaan masyarakat.
Upaya dalam pembinaan kepribadian anak ternyata tidak terlepas dari berbagai faktor yang turut mempengaruhinya. Keberadaan beberapa faktor tersebut ada yang menjadi penunjang bagi kelancaran pembentukan kepribadian anak.
Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :
a. Pendidikan Orang Tua
Orang tua sebagian besar memiliki tingkat pendidikan formal yang rendah. Meskipun pendidikan mereka rendah, diimbangi dengan mengikuti berbagai kegiatan-kegiatan non formal yang diadakan di masyarakat, misalnya melalui kegiatan ceramah keagamaan yang ada di masyarakat. Orang tua di daerah ini memiliki kesadaran yang tinggi untuk menuntut ilmu dan memperbaiki status.
Menurut Ibu Jumaah, (wawancara, Jum’at, 2 Mei 2008), pendidikan bagi anak-anak sangat penting, karena dengan pendidikan anak-anak dapat meningkatkan taraf hidup mereka dikemudian hari, karena mereka telah mendapat bekal dari ilmu-ilmu yang mereka pelajari.
b. Ekonomi Rumah Tangga
Kemampuan ekonomi sebagian besar warga masyarakat petani di Kelurahan Gambut ditunjang oleh tingginya semangat mereka bekerja, bahkan semangat kerja keras itu juga diwariskan kepada anak-anak mereka.
c. Kesadaran Orang Tua
Kesadaran orang tua tentang pentingnya pendidikan dapat membentuk kepribadian anak. Hal itu terlihat dari keaktifan para orang tua memberikan bimbingan, khususnya bimbingan keagamaan.
d. Lingkungan Sekitar
Lingkungan sekitar menjadi faktor penunjang kelancaran pembentukan kepribadian anak. Keadaan lingkungan yang lebih banyak mementingkan pendidikan akan mempengaruhi kepribadian anak, sehingga anak termotivasi mengikuti orang sekitar yang menempuh pendidikan.
6.3.2 Anak Sebagai Pekerja
Diantara 5.047 orang yang bekerja, 2.819 orang (55%) diantaranya bekerja di sektor pertanian. Dengan demikian sebagian besar orang tua atau kepala rumah tangga dari murid sekolah bekerja dibidang pertanian.
Disamping bidang pertanian, lapangan pekerjaan yang banyak menyerap tenaga kerja adalah perdagangan, industri dan jasa. Dari ketiga bidang / lapangan ini sebagian besar masih merupakan pekerja dengan pendapatan minim. Sehingga banyak terdapat anak-anak putus sekolah karena harus membantu pekerjaan seperti menjaga warung / kios, ikut bekerja di bidang industri kerajinan rotan (lampit), dsb.
Menurut Ibu Riri, (wawancara, Jum’at 2 Mei 2008), anak-anak cukup sekolah sampai bisa baca tulis, karena pada akhirnya anak-anak akan dihadapkan pada lapangan pekerjaan di lahan pertanian. Selain itu anak-anak harus diajarkan pendidikan pertanian, agar mereka dapat cukup makan memenuhi kebutuhannya. Dan yang terpenting anak-anak perempuan harus belajar dalam lingkungan rumah tangga seperti memasak.
Sedangkan menurut Ibu Yana, (wawancara, Jum’at 2 Mei 2008), anak-anak sekolah cukup sampai dia bisa bekerja, terlebih lagi anak perempuan, karena pada akhirnya akan menikah, sehingga menjadi tanggung jawab suami.
Di Kelurahan Gambut, banyak anak-anak petani yang tidak melanjutkan sekolah. Mereka lebih memilih untuk bekerja sebagian besar mereka adalah murid yang putus SLTP dan tamat SLTP. Mereka bekerja adalah dengan alasan untuk membantu orang tua. Anak laki-laki biasanya bekerja sebagai buruh bangunan, sedangkan anak perempuan kebanyakan menjadi penjaga kantin, dan warung-warung nasi. Pekerjaan-pekerjaan seperti itu mereka lakukan sambil menunggu musim tanam dan musim panen tiba.
6.4 Pendidikan Yang Diperlukan Masyarakat Petani Di Kelurahan Gambut
Bagi masyarakat petani Gambut, orang tua dan guru mendidik anak hendaklah dilakukan bahwa anak sebagai amanah, titipan Allah, mendidik dijadikan sebagai perwujudan iman dan ibadah, dengan penuh perhatian, dan santun. Yang utama yang harus dilakukan orang tua dan pendidik adalah bagaimana anak beriman dan taqwa kepada Tuhan, melalui pembiasaan, pemahaman, dan keteladanan. Memberikan sesuatu poada yang didasarkan paling bermakna bagi anak. Mendorong anak menguasai ilmu pengetahuan, keterampilan, teknologi, beriman, taqwa, berakhlak, cinta pada keberadaan dan rendah hati.
Tujuan pendidikan sebenarnya bagaimana membawa anak didik dalam mencapai kesempurnaan hidup. Kesempurnaan hidup tidak bisa dicapai hanya melalui pengembangan intelektual saja, sementara jiwanya gersang. Menghadapi era kemajuan teknologi informatika, bagaimana pendidikan dapat memelihara, membimbing, membina dan menjaga bakat-potensi yang ada pada anak didik secara optimal.
Dengan demikian pedoman yang harus dipakai agar bakat-potensi anak berkembang seimbang sempurna dan utuh berdasarkan petunjuk Allah yaitu Al-Qur’an, karena Al-Qur’an sebagai sumber agama telah dipersiapkan untuk menjaga, memelihara, membimbing, mendidik, menjaga fitrah manusia agar menjadi sempurna. Maka, sebagian besar masyarakat petani lebih memilih memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah yang bernafaskan keagamaan seperti madrasah. Selain itu, banyak juga dari mereka lebih memilih masuk pesantren ketimbang SLTP setelah menyelesaikan Sekolah Dasar.
Menurut Bapak Bawaihi (wawancara, Jumat 27 Juni 2008), apabila anak sudah menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar, hendaklah anak tersebut diarahkan pada hal-hal pelajaran yang agamis, karena dalam lingkungan pesantren atau madrasah, anak-anak akan mendapat materi yang lebih berharga ketimbang di sekolah biasa.
Sedangkan menurut H. Duan, (wawancara, Jumat 27 Juni 2008), pendidikan untuk anak hendaklah diberikan pendidikan setinggi mungkin sesuai dengan tingkat kemampuan anak, dalam hal ini anak boleh menentukan sendiri bentuk pendidikan yang dikehendaki, baik yang bersifat umum, maupun keagamaan.
Menurut Bapak Basran, (wawancara, Jumat 27 Juni 2008), pendidikan untuk anak ataupun masyarakat petani adalah pendidikan yang memberikan pemahaman tentang konsep-konsep lingkungan. Dunia pendidikan baik formal maupun non-formal adalah sama-sama untuk meningkatkan kualitas manusia, karena pembangunan manusia seutuhnya merupakan kunci keberhasilan pembangunan. Dalam ruang lingkup yang lebih menjurus, peningkatan kesadaran lingkungan harus menjadi sasaran utama pendidikan teristimewa bagi pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam demi keseimbangan dan keserasian lingkungan, yaitu pemahaman dan sikap masyarakat petani terhadap lingkungan.
Menurut Ibu Jumiah (wawancara, Jumat 27 Juni 2008), pendidikan untuk semua masyarakat yang penting adalah pendidikan yang setinggi mungkin, apalagi apabila kemampuan ekonomi orang tua mendukung, jangan sampai anak-anak putus sekolah. Pendidikan dapat diperoleh dengan berbagai cara terlebih lagi dengan semakin mendukungnya perkembangan alat-alat elektronika sekarang ini.
6.5 Latar Belakang Anak Petani Putus Sekolah
Dalam pidato pertanggung jawaban Presiden Soeharto di hadapan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tanggal 11 Maret 1978 dikatakan bahwa perluasan dan pemerataan kesempatan belajar tetap menjadi titik berat sebagai penerapan azas keadilan sosial di bidang pendidikan. Terutama bagi anak-anak indonesia yang berusia 7-12 tahun. Hal yang sama diulang kembali dalam pidato kenegaraan pada tanggal 16 Agustus 1980 (BPS, 1982 : 4).
Pernyataan tersebut sangat melegakan, namun hal ini buka berarti kita tidak memiliki hambatan yang sulit. Hambatan seperti tradisi, kebudayaan dan kebiasaan masyarakat yang kurang mementingkan pendidikan serta masih rendahnya tingkat pendapatan masyarakat di Kelurahan Gambut, sering menjadi penghambat bagi kebijaksanaan pemerintah setempat dalam bidang pendidikan.
Persepsi orang tua akan pentingnya sekolah sampai menamatkan suatu tingkat pendidikan tertentu bagi sang anak terasa masih kurang terutama bagi orang tua di Kelurahan Gambut yang bermata pencaharian sebagai petani. Sebagian orang tua di daerah pertanian menyekolahkan anak dengan alasan agar anak dapat membaca dan menulis semata agar tidak mudah tertipu orang lain.
Menurut Ibu Riri (wawancara, Jum’at, 9 Mei 2008), menyekolahkan anak tidak perlu tinggi-tinggi cukup sampai anak dapat membaca dan menulis saja. Karena dengan dapat membaca dan menulis, maka kita tidak akan tertipu dalam kehidupan, seperti apabila kita akan menghadapi kehidupan ekonomi yang makin sulit dan dengan membaca dan menulis kita sudah dapat ikut serta dalam membangun desa.
Mengingat kemampuan membaca dan menulis sudah dicapai pada kelas 3 atau 4 maka orang tua kadang kadang telah menganggap tidak perlu anaknya bersekolah sampai tamat SD. Apalagi kalau mengingat kondisi pekerjaan yang ada di pedesaan. Kemampuan berproduksi antara yang tamat SD dan yang hanya sampai kelas 3 atau 4 misalnya tidak banyak berbeda, oleh sebab itu, wajarlah kalau bukti-bukti yang ada menunjukkan sebagian orang tua yang tidak mampu melanjutkan pendidikan anaknya ke sekolah lanjutan, percaya bahwa tidak ada gunanya mengeluarkan biaya untuk pendidikan sampai tamat Sekolah Dasar (SD)
6.5.1 Net Enrollment Ratio
Salah satu ukuran yang dipakai untuk melihat partisipasi pendidikan adalah NET Enrollment Ratio (NER). Ukuran ini dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah murid pada tingkat pendidikan dan umur tertentu dibagi dengan jumlah murid pada tingkat pendidikan dan umur tertentu dibagi dengan jumlah penduduk yang seharusnya masih duduk di tingkat pendidikan yang bersangkutan. Untuk Sekolah Dasar dipakai batasan (7-12) tahun. Dengan demikian kelompok umur ini akan merupakan dasar bagi perhitungan NET Enrollment Ratio (NER). Angka maksimum NER yang dapat dicapai adalah 100. ini berarti setiap anak berusia (7-12) tahun tertampung dan masih duduk di Sekolah Dasar (BPS, 1982 : 25).
Untuk mencapai angka 100 memang sukar. Hal ini disebabkan oleh banyaknya anak umur 7-12 tahun yang tidak bersekolah karena berbagai hal. Hal ini lain yang menyebabkan sukarnya pencapaian angka 100 untuk NER adalah pada usia dibawah 7 tahun. Anak yang baru masuk sekolah pada usia 8 tahun misalnya, pada saat berumur 13 tahun anak tersebut masih duduk di SD. Anak-anak semacam ini, walaupun masih bersekolah di SD tidak akan lagi ke dalam perhitungan. Sebaliknya, anak yang masuk SD kurang dari 7 tahun pada saat si anak berumur 12 tahun, kemungkinan besar telah duduk di SLTP.
Walaupun di Kelurahan Gambut angka NER ini kecil kemungkinannya mencapai angka 100, angka yang mendekati 100 akan merupakan indikator semakin banyaknya anak usia sekolah yang dapat ditampung, atau makin tingginya partisipasi dalam pendidikan.
6.5.2 NET Enrollment Ratio Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
NER untuk SLTP akan memberikan gambaran tentang partisipasi anak usia 13-15 yahun, yang merupakan usia ideal SLTP, untuk duduk di bangku SLTP, perhitungan Net Enrollment Ratio untuk SD. Dalam hal ini kita membandingkan antara anak usia 13-15 tahun yang masih duduk di SLTP dengan penduduk di Kelurahan Gambut yang berumur 13-15 tahun. Ner Enrollment Ratio SLTP tentu saja akan jauh kecil dibandingkan NET Enrollment Ratio SD. Beberapa hal yang menjadi penyebab seperti ketiadaan biaya untuk melanjutkan atau kurangnya sarana pendidikan SLTP yang dapat menampung para lulusan Sekolah Dasar. Seperti terlihat dari data prasarana pendidikan formal yang menunjukkan di Kelurahan Gambut terdapat 11 Sekolah Dasar sedangkan SLTP hanya 2 berarti perbandingan antara jumlah SD dan SLTP labih kurang ; 11 Sekolah SD berbanding 2 Sekolah SLTP. Akibatnya,m banyak lulusan SD yang tidak dapat ditampung di SLTP.
Di Kelurahan Gambut angka NER ini sama saja dengan Sekolah Dasar, kecil kemungkinannya mencapai nilai 100, ini berarti tidak semua anak-anak usia 13-15 tahun didik di bangku SLTP. Mereka yang tidak bersekolah lagi ini mungkin karena :
a. Mereka sama sekali tidak bersekolah.
b. Masih bersekolah tapi masih duduk di SD.
c. Pernah sekolah tetapi pada tahun 2000 tidak lagi duduk di bangku SLTP atau,
d. Sudah duduk di SLTP (tetapi kecil kemungkinannya)
Jika kita melihat Net Enrollment Ratio murid SLTP di Indonesia menurut jenis kelamin, laki-laki (27,0) lebih tinggi dibanding angka untuk perempuan (23,3). Perbedaan antara 5-6 %. Ini terlihat juga untuk masing-masing daerah tempat tinggal, kota dan pedesaan. Jika perbedaan NER untuk Sekolah Dasar antara penduduk laki-laki dan perempuan hanya terlihat 2%, ternyata untuk SLTA jauh lebih besar. Hal ini mungkin disebabkan oleh anggapan orang tua bahwa anak gadis tidak perlu sekolah yang tinggi. Atau, mereka sudah melangsungkan perkawinan setelah tamat SD dan tidak meneruskan sekolah. Hal ini mungkin sesuai dengan kenyataan bahwa masih tingginya persentase penduduk wanita yang sudah kawin di bawah umur 15 tahun. Di daerah Kalimantan Ratio NER perempuan lebih besar dibanding laki-laki. (BPS, 1982 : 30).
NET Enrollment Ratio
(Sample Di Handil Bumi Putera Kelurahan Gambut)
Tingkat
Umur
Jumlah murid
Jumlah murid seharusnya
SD
7-12 Tahun
36
40
SLTP
13-15 Tahun
4
15
6.5.3 Putus Sekolah
Pembahasan masalah putus sekolah di Kelurahan Gambut menurut penelitian dan wawancara pada 6 Mei 2008, di peroleh bahwa 50% putus sekolah disebabkan oleh kemelaratan orang tua. Dua Puluh Persen adalah kurangnya perhatian dan kesadaran orang tua terhadap pendidikan dan selebihnya 30% disebabkan oleh kawin muda, tidak senang kepada pelajaran dan lain-lain.
Masalah putus sekolah dalam masyarakat petani tampaknya lebih banyak disebabkan oleh masalah sosial ekonomi dari pada masalah pendidikan itu sendiri. Kemelaratan sering menjadi titik pangkal penyebab. Karena itu dengan semakin baiknya kondisi sosial ekonomi masyarakat petani diharapkan masalah putus sekolah akan berkurang dengan sendirinya.
Dalam pembahasan putus sekolah, penduduk dibagi ke dalam tiga kelompok umur ; yaitu 7-12, 7-15, dan 7-18 tahun. Dengan sampel di daerah pertanian Handil Bumi Putera di Kelurahan Gambut menurut 12 anak putus sekolah di wawancarai, mereka yang putus sekolah di SD umur 7-12 tahun sebesar 42%. Angka yang lebih tinggi lagi untuk kelompok umur 7-18 tahun yaitu 50%. Untuk semua kelompok umur, putue sekolah penduduk perempuan lebih besar dibanding putus sekolah penduduk laki-laki.
Di daerah Kelurahan Gambut walaupun dari kelompok umur 7-12 tahun masih sedikit yang telah duduk di SLTP, putus sekolah justru terjadi pada kelompok umur 7-15 tahun. Penduduk perempuan umur 7-18 tahun di SLTP lebih tinggi dibanding putus sekolah pada murid laki-laki. Penyebabnya yaitu telah banyak di antara mereka yang melangsungkan perkawinan.
Data anak petani yang putus sekolah
(sampel di Handil Bumi Putera Kelurahan Gambut)
Nama
Putus di
Alasan
Sanainah (pr)
SMP
Biaya
Arbainah (Pr)
SD
Kesehatan
Hair (Lk)
SMP
Biaya
Wandi (Lk)
SMP
Biaya
Khair (Lk)
SMP
Biaya
Tuti (pr)
SMP
Kawin muda
Dinah (pr)
SMP
Biaya
Masdiani (Lk)
SMP
Biaya
Amat (Lk)
Pesantren
Tidak senang belajar
Sari (pr)
SD
Kesehatan
Yani (pr)
SD
Kawin muda
Irus (pr)
SMP
Kawin muda
Desi (pr)
SMP
Biaya
Sari (pr)
SMP
Kawin muda
Halimah (pr)
SMP
Biaya
Johan (Lk)
SMP
Biaya
Johar (pr)
SD
Biaya
Rini (pr)
SMP
Biaya
6.5.4 Sebab-Sebab Anak Petani Putus Sekolah
Putus sekolah di Kelurahan Gambut tidak hanya merupakan masalah pendidikan tetapi juga sebagai masalah sosial dan ekonomi. Berbagai faktor sosial ekonomi (maupun budaya) dapat mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat putus sekolah. Di samping itu putus sekolah kelihatannya agak terselubung, karena mereka langsung dimanfaatkan oleh sektor pertanian, mereka langsung menjadi pekerja keluarga. Kalau mereka sudah jenuh dengan bidang ini atau memang di daerahnya tidak ada lapangan pekerjaan lain maka mereka cenderung lari ke kota untuk mencari pekerjaan. Mereka tidak atau sudah tidak mencari pekerjaan dapat berusaha sebagai pekerja harian, buruh bangunan, tukang kantin dan lain sebagainya.
Putus sekolah bagi masyarakat petani, tidak hanya berasal dari keluarga petani miskin yang tidak mampu, tetapi tidak jarang juga berasal dari keluarga petani menengah. Hal ini banyak disebabkan oleh kurangnya perhatian dari orang tua.
Adapun sebab-sebab putus sekolah adalah :
a. Putus sekolah di SD
Dalam masyarakat petani Kelurahan Gambut, sebab-sebab putus sekolah di SD berumur 7-15 tahun di sebabkan karena biaya tidak mampu. Mereka yang putus sekolah karena tidak mampu pikirannya, menganggap pendidikan SD sudah cukup, dan karena sebab lainnya.
Sebagian terbesar anak-anak petani putus sekolah adalah dengan alasan tidak mampu, namun tidak sedikit juga penduduk yang menyatakan, mereka putus sekolah karena menganggap pendidikan yang diterima sudah cukup, karena pendidikan di SD menulis dan menghitung. Putus sekolah karena alasan tidak mampu pikiran dan pendidikan dianggap cukup, tidak berpengaruh pada anak perempuan dibanding laki-laki.
b. Putus sekekolah di SLTP
Putus sekolah di SLTP walaupun masalah biaya masih merupakan penyebab utama, akan tetapi masalah-masalah lainnya juga cukup mempengaruhi. Hal ini mengingat bahwa anak-anak SLTP yang pada umumnya telah menginjak masa remaja cenderung lebih banyak terlihat dalam berbagai jenis pergaulan baik yang mengarah ke positif maupun negatif. Kalau pergaulan atau lingkungan lebih banyak membawa pada hal-hal yang negatif, tentu saja kecenderungan untuk tidak memperhatikan sekolah yang kemudian putus sekolah bagi anak-anak petani akan cukup besar.
Banyak anak perempuan yang melangsungkan perkawinan muda pada usia sekitar 13-17 tahun, yaitu setelah mereka dianggap akil baliq. Juga merupakan hambatan bagi anak-anak SLTP meneruskan sekolahnya.
GAMBAR-GAMBAR
Gambar 1 : Anak-anak petani di Kelurahan Gambut
Gambar 2 : Petani buruh dari Hulu Sungai
Gambar 3 : Petani buruh di Kelurahan Gambut
Gambar 4 : Petani Penggarap di Kelurahan Gambut
Gambar 5 : Petani Pemilik di Kelurahan Gambut
Gambar 6 : Seorang warga yang menikah muda
Gambar 7 : Lahan Pertanian Kelurahan Gambut
Gambar 8 : Petani yang menjemput anak pulang dari sekolah
Gambar 9 : Petani yang sedang menggarap lahan
Gambar 10 : Para petani berangkat ke sawah
Gambar 11 : Petani yang singgah di warung membeli bekal sebelum ke sawah
Gambar-gambar diambil dengan HP Sony Ericsson K510i (dokumentasi pribadi)
BAB VII
KESIMPULAN
Masyarakat petani di Kelurahan Gambut memandang pendidikan sebagai suatu sarana untuk menuju kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang. Masyarakat petani Kelurahan Gambut yang hampir 100% menganut agama Islam cenderung memilih pendidikan ke arah yang bersifat agama seperti madrasah atau pesantren. Karena pendidikan yang bersifat agama, bagi mereka adalah pendidikan yang bersifat seumur hidup. Namun tidak sedikit juga dari mereka yang bersekolah di sekolah yang bersifat umum.
Kendati demikian, banyak masyarakat petani yang tidak meneruskan pendidikan mereka ke tingkat yang lebih tinggi. Kebanyakan dari mereka hanya menempuh pendidikan setingkat SD-SLTP, hal ini disebabkan oleh berbagai alasan seperti pendidikan yang diperoleh selama SD sudah cukup dan kendala pendidikan seperti biaya, kesehatan dan lain sebagainya.
Putus sekolah banyak terjadi di tingkat SLTP, karena mereka menganggap pendidikan yang didapat sudah cukup. Mereka memilih untuk terjun ke sektor pertanian untuk membantu orang tua dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun demikian mereka tetap menyadari arti pentingnya pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku :
Aris Ananta. Demografis Kualitas Penduduk dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta : Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1993.
A. Suryadi. Sekolah dan Pembangunan. Bandung : Alumni. 1982
BPS. Putus Sekolah. Jakarta. 1982
Basri MS. Metode Penelitian Sejarah. . Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada. 2006
David O., Sears, et. al.,. Psikologi Sosial, Jilid 1, Alih bahasa oleh Micahael Adriayanto dan Savitri Soekrisno. Jakarta: Erlangga. 1994
Scoot, James. Moral Ekonomi Petani. Jakarta : LP3ES. 1994
Fudiat Suryadikara. Laporan Hasil Penelitian Dan Perkembangan Masyarakat Kalimantan Selatan. FKIP UNLAM. 1979
Helius Sjamsuddin. Metodologi Sejarah. Jakarta : Debdikbud 1994
Istiqomah, dkk,. Modul 1-9: Materi Pokok Psikologi Sosial. Jakarta: Karunika Universitas Terbuka.1988
Kaloh. Kepala Daerah Jakarta : PT. Sun 2003
Kessing, Roger M. Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer Jilid 2. Jakarta: Erlangga. 1992
Koentjaranigrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Penerbit rineka Cipta. 1990
Masri Singarimbun. Metode Penelitian Survai. Jakarta : LP3ES. 1989
Moleong, L. J. Metologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosydakarya. 2001
Munandir. Ensiklopedi Pendidikan. Malang : UM Press. 2001
Muslim AP. Data Kelurahan Gambut. 2007
Muslim AP. Monografi Kelurahan Gambut tahun 2005. 2006
Redja Mudyahardjo. Pengantar Pendidikan. Jakarta : Rajagrafindo Persada. 1995
Sarwono. Psikologi dan Pengalaman. Jakarta : Erlangga. 1983
Soelaiman Joesoef. Pendidikan Luar Sekolah. Surabaya : CV Uasaha Nasional. 1979
Soeparman. Pendidikan Nasional. Surabaya : PT Bina Ilmu. 1995
Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada. 1990
Suharsimi Arikunto. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta. 1993
Sunanto. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : Rineka Cipta. 1995
Suparto. Sosiologi dan Antropologi. Bandung : Armico. 1987
Teer Har, B.Mr. Asas-asas Susunan Hukum Adat. Jakarta : Pradna Pramunta. 1960
Torsten Husen. Masyarakat Belajar. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada. 1995
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pendidikan bagi umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan sama sekali mustahil suatu kelompok manusia (dalam hal ini masyarakat petani) dapat hidup berkembang sejalan aspirasi (cita-cita) untuk maju, sejahtera dan bahagia. Pendidikan sebagai salah satu kebutuhan hidup, salah satu fungsi sosial, sebagai bimbingan, dan sebagai sarana pertumbuhan yang mempersiapkan diri membentuk disiplin hidup.
Pendidikan Nasional bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berbudi luhur, memiliki pengetahuan, keterampilan dan rasa tanggung jawab.
Dalam memajukan pendidikan nasional, peranan orang tua sangat menentukan, khususnya pola pikir orang tua terhadap masa depan anaknya. Dalam hal ini diperlukan pendidikan formal yng harus dijalani oleh anak-anak usia 7 (tujuh) sampai 18 (delapan belas) tahun. Orang tua memiliki peranan penting dalam pengembangan kualitas pendidikan dan tenaga kerja yang sesuai dengan tuntutan kesempatan yang ada
Sebenarnya usia anak dan remaja mempunyai potensi yang sangat positif jika dikembangkan dengan benar, karena masih banyak anak-anak dan remaja yang masih mempertahankan ntradisi dan nilai-nilai agama.
Namun demikian, pendidikan masih merupakan konsep yang belum jelas, bahkan masih terus diperdebatkan di kalangan para orang tua di Kelurahan Gambut yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani. Sebagian besar dari mereka memiliki pandangan bahwa pendidikan di sekolah belum atau tidak mampu menjamin kehidupan yang akan datang. Dilain pihak berpendapat bahwa pendidikan tidak akan pernah memiliki kemampuan untuk mempertahankan tradisi bertani yang mereka jalani. Pandangan terakhir selalu beranggapan bahwa informasi tentang pendidikan sangat mahal harganya, sehingga masyarakat yang kehidupan sehari-harinya bertani sulit untuk mencapainya.
Dengan demikian, masalah kurangnya peranan orang tua dalam membantu menentukan masa depan pendidikan anak-anaknya di Kelurahan Gambut, berkaitan dengan latar belakang budaya yang mereka miliki, hal ini merupakan masalah yang masih akan terus terjadi sepanjang pemikiran seperti ini menjadi halangan kesempatan untuk melanjutkan sekolah. Salah satu contoh empiris dari ketidaksesuaian dalam pendidikan dapat dilihat dari banyaknya anak-anak usia sekolah yang tidak menempuh pendidikan formal, untuk itu penulis merasa sangat tertarik untuk menggali masalah ini lebih dalam.
1.2 Rumusan Masalah.
Berpijak dari uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang masalah, dapat dirumuskan masalah yang akan diteliti dalam hal ini adalah :
Bagaimana pandangan masyarakat petani di Kelurahan Gambut terhadap pendidikan
Pendidikan yang bagaimana yang diperlukan oleh masyarakat petani di Kelurahan Gambut
Hal-hal apa saja yang melatarbelakangi anak-anak petani di Kelurahan Gambut putus/tidak melanjutkan sekolah.
Mengenai pemilihan judul, penulis memilih judul “Pandangan Masyarakat Petani Terhadap Pendidikan Anak di Kelurahan Gambut Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar Tahun 2000-2005”. Penulis secara garis besar ingin melihat sejauh mana tingkat pendidikan yang dijalani oleh masyarakat petani di daerah pertanian di Kelurahan Gambut pada tahun 2000-2005.
1.3 Batasan Masalah
Terkait dengan rumusan masalah diatas yang bersifat umum, maka perlu kiranya memberikan beberapa batasan terhadap masalah-masalah pokok yang hendak diungkapkan.
1.3.1 Batasan Subjek (pelaku)
Batasan subjek meliputi masyarakat petani yang tinggal di sepanjang kawasan pertanian di kelurahan Gambut, khususnya petani pemilik, petani penggarap, petani buruh, dan para tokoh masyarakat setempat yang berpengaruh di Kelurahan Gambut.
1.3.2 Batasan Objek (peristiwa)
Dalam hal ini batasan objek meliputi peristiwa bagaimana pendidikan yang ada pada tahun 2000-2005 di Kelurahan Gambut dan partisipasi masyarakat petani terhadap pendidikan
1.3.3 Batasan Spasial (tempat)
Batasan spasial dalam penulisan skripsi ini meliputi Kelurahan Gambut di Kecamatan gambut Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan.
1.3.4 Batasan Temporal (waktu)
Dalam skripsi ini, batasan temporal yang digunakan adalah kurun waktu dari tahun 2000 sampai tahun 2005, yaitu ketika mulai terjadinya peningkatan partisipasi masyarakat di Kelurahan Gambut dalam pendidikan.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan data-data yang berkaitan dengan pendidikan di Kecamatan Gambut dari tahun 2000 sampai tahun 2005.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini antara lain, sebagai masukan dan memperkaya pengetahuan mahasiswa terutama mahasiswa program studi pendidikan sejarah. Selain itu diharapkan dapat menjadi masukan bagi semua pihak terkait yang ingin mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai gambaran pendidikan di Kelurahan Gambut. Diharapkan juga dapat menjadi pengetahuan bagi masyarakat umum, dan selanjutnya diharapkan dapat berguna bagi pemerintah daerah setempat dalam menyusun sejarah lokal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian masyarakat
Masyarakat adalah sekelompok orang yang menepati satu wilayah yang secara langsung ataupun tidak langsung saling berhubungan dalam usaha-usaha pemenuhan kebutuhannya, terikat sebagai suatu kesatuan sosial melalui perasaan solidaritas oleh karena latar belakang sejarah, politik dan kebudayaan. Seperti halnya dengan definisi sosiologi yang banyak jumlahnya, terdapat pula definisi-definisi tentang masyarakat yang juga tidak sedikit. Definisi adalah sekedar alat yang ringkas untuk memberikan batasan-batasan mengenai suatu persoalan atau pengertian ditinjau dari analisis. Analisis inilah yang memberikan arti yang memberikan arti yang jernih dan kokoh dari suatu pengertian (Suparto, 1987 : 193).
Mengenai arti masyarakat, terdapat beberapa definisi mengenai masyarakat itu, sepertri misalnya :
a. R. LINTON : seorang ahli antropologi mengemukakan bahwa masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerjasama, sehingga mereka itu dapat mengorganisasikan dirinya sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas teretntu.
b. M. J. HERSKOVITZ : Menulis bahwa masyarakat adalah kelompok individu yang diorganisasikan dan mengikuti satu cara hidup tertentu.
c. J. L. GILLIN dan J. P. GILLIN : Mengatakan bahwa masyarakat adalah kelompok manusia yang terbesar dan mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang sama. Masyarakat itu meliputi pengelompokan-pengelompokan yang lebih kecil.
d. S. R. STEINMENTZ : Seorang sosiolog bangsa Belanda, mengatakan bahwa masyarakat adalah kelompok manusia yang terbesar, yang meliputi pengelompokan-pengelompokan yang lebih kecil yang mempunyai perhubungan yang erat dan teratur.
e. HASSAN SHADILY : Mendefinisikan masyarakat adalah golongan besar atau kecil dari beberapa manusia, yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan mempunyai pengaruh kebatinan satu sama lain (Suparto, 1987 : 193-194).
Mengikuti definisi Linton, masyarakat itu timbul dari setiap kumpulan individu, yang telah cukup lama. Kelompok manusia yang dimaksud tersebut yang belum terorganisasikan mengalami proses yang fendamental, yaitu :
a. Adaptasi dan organisasi dari tingkah laku para anggota.
b. Timbul perasaan kelompok secara lambat laun atau I’esprit de corps.
Proses ini biasanya bekerja tanpa disadari dan diikuti oleh semua anggota kelompok dalam suatu coba-coba salah (percobaan). Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa masyarakat dapat mempunyai arti yang luas dan dalam arti yang sempit. Dalam arti luas masyarakat dimaksud keseluruhan hubungan-hubungan dalam hidup bersama tidak dibatasi oleh lingkungan, bangsa dan sebagainya. Atau dengan kata lain : kebutuhan dari semua perhubungan dalam hidup masyarakat. Dalam arti sempit, masyarakat dimaksud adalah sekelompok manusia yang dibatasi oleh aspek-aspek tertentu, misalnya teritorial, bangsa, golongan dan sebagainya. Contohnya : masyarakat Jawa, masyarakat Sunda, masyarakat Minang, masyarakat mahasiswa, masyarakat petani dan sebagainya (Suparto, 1987 : 194).
2.2 Masyarakat petani
Masyarakat petani umumnya berlokasi di daerah pertanian, mempunyai keterkaitan yang relatif kuat terhadap kehidupan tradisional. Pada masyarakat ini berlaku keteraturan-keteraturan kehidupan sosial yang mencakup kegiatan-kegiatan ekonomi, keagamaan dan politik serta hukum yang coraknya sesuai dengan lingkungan hidup setempat (Suparto, 1987 : 197).
Dasar utama dari masyarakat petani ialah lokasi dan perasaan kelompok atau masyarakat tempat itu. Mereka mempunyai ikatan solidaritas yang kuat antara sesamanya sebagai pengaruh kesatuan tempat tinggalnya. Orang-orang dari masyarakat itu ditandai dengan hubungan yang sangat erat dan lebih dalam jika dibandingkan hubungan mereka dengan orang-orang yang berada di luar desanya (Suparto, 1987 : 198).
Antara sesama warga sedesa, masyarakat petani masih saling kenal dan bergaul dengak dekat dan rapat. Sistem kehidupan biasanya berkelompok dan kekeluargaan, dengan mata pencaharian utama bertani disamping pekerjaan sambilan, seperti : bertukang, kerajinan tangan dan lain-lain. Pekerjaan sambilan dimaksudkan untuk mengisi waktu kosong sambil menunggu datangnya musim panen (Suparto, 1987 : 194).
2.3 Peranan orang tua dalam mendidik anak
Pentingnya peranan orang tua dalam menentukan masa depan anaknya, khususnya sebagai motivator dalam kehidupan diperoleh dari pengalaman pribadi dengan melihat langsung ke tempat dilakukan penelitian dan wawancaran langsung kepada orang tua dan anak-anak yang berpendidikan dan tidak berpendidikan di kecamatan Gambut, selain itu, peranan orang tua dalam kehidupan anak di analisa dari buku Prof. Dr. H. Sunanto dan Dra. B. Agung Hantono yang berjudul Perkembangan Peserta Didik Penerbit Debdikbud dan Rineka Cipta Jakarta 1995.
Anggapan sistem pendidikan yang sangat penting dampaknya terhadap masa depan masyarakat di analisa dari buku ciri Demografis Kualitas Penduduk dan Perkembangan Ekonomi yang disunting Aris Ananta. Penerbit Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 1993.
Kehidupan masyarakat petani yang pola pikirnya didasarkan pada tradisi yang kuat, dianalisa dari buku Soejono Soekanto yang berjudul Sosiologi suatu pengatar. Penerbit PT. Rajagrafindo Persada Jakarta (2005 : 154). Dijelaskan golongan orang-orang tua pada masyarakat pedesaan umumnya memegang peranan penting.
Penyebab kurangnya minat mengenyam pendidikan pada masyarakat petani, diantaranya biaya pendidikan, lamanya waktu belajar, dan pendidikan tidak mampu menjamin kesejahteraan diambil dari artikel PPI Jepang dalam situs www. ppi. Jepang org.
Kondisi kehidupan anak-anak yang sampai saat ini belum terwujud sepenuhnya sesuai cita-cita bangsa Karel Tuhehay didalam majalah Pendidikan Gerbang penerbit (P3 UMY Yogyakarta (2003 : 25) dijelaskan karena dihampir semua daerah di Indonesia masih banyak yang mengalami proses marjinalisasi di semua aspek kehidupan. Dan hal ini tentu tidak mendukung proses memasyarakatkan anak sebagai modal pembangunan bangsa yang punya kekuatan untuk melanjutkan tongkat estafet guna menyongsong masyarakat adil dan makmur seutuhnya.
2.4 Pengertian Pendidikan
Pendidikan pada hakektnya adalah usaha sadar manusia untuk mengembangkan kepribadian di dalam maupun di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Oleh karenanya agar pendidikan dapat dimiliki oleh seluruh rakyat sesuai dengan kemampuan masyarakat, maka pendidikan adalah tanggung jawab keluarga, masyarakat dan pemerintah. Tanggung jawab tersebut didasari kesadaran bahwa tinggi rendahnya tingkat pendidikan masyarakat berpengaruh pada kebudayaan suatu daerah, karena bagaimanapun juga, kebudayaan tidak hanya bepangkal dari naluri semata-mata tapi terutama dilahirkan dari proses belajar dalam arti yang sangat luas. Bertolak dari hal tersebut terasa betapa pentingnya pendidikan. Wajar kalau pembangunan pendididkan merupakan bagian organik dari pembangunan nasional secara keseluruhan yang pada hakekatnya adalah pembangunan manusia seutuhnya ( Suryadi, 1982 : 4 ).
2.5 Pendidikan masyarakat petani
Proses pendidikan yang ada pada saat ini, sebenarnya telah lama di laksanakan orang dan merupakan proses yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya engan tujuan yang jelas pula. Dan proses pendidikan yang dialami selalu dihubungkan dengan proses belajarnya, terutama oleh sebagian besar masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan (Soelaiman Joesoef, 1979 : 15).
Sekolah mendidik anak-anak untuk hidup di luar masyarakatmya tidaklah berarti sama sekali tidak ada pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan anak-anak hidup di tengah-tengah masyarakatnya. Maksudnya sekolah tidak menyelenggarakan hal tersebut. Pada kenyataannya, setiap masyarakat desa selalu mempunyai cara-caranya sendiri untuk mendidik anak-anak agar bisa hidup di masyarakatnya. Secara tradisionil ada pengajran informal yang diselenggarakan oleh keluarga dan masyarakat. Pengajaran demikian itu ditunjang oleh orang tua atau pemuka agama yang dianut masyarakat setempat ( A. Suryadi, 1982 : 6-7 ).
Proses belajar yang dimaksud adalah belajar dalam rangka pendidikan formal di sekolah, sejak sekolah rendah sampai ke tingkat yang tertinggi. Sejalan dengan hal tersebut, maka banyak orang beranggapan bahwa bila seseorang telah keluar dari sekolah berarti ia telah selesai proses belajarnya. Bagaimana hidupnya, mereka serahkan pada hasil belajar yang dicapainya sehingga belajar menentukan corak kehidupan seseorang di dalam masyarakat. Bahkan mereka menerima kenyataan ini dengan sepenuhnya, seperti terjadi pada masyarakat pedesaan yang terdiri dari keluarga tani dan buruh yang mempunyai taraf hidup yang masih rendah (Soelaiman Joesoef, 1979:16)
Jadi sekolah merupakan tumpuan hidup seseorang. Dengan kata lain sekolah sebagai ″station in life″ nya seseorang, sehingga dimana ia berhenti sekolah, disitu sudah menunggu nasibnya. Keadaan tersebut telah banyak ditinggalkan orang dan mereka menganggap bahwa belajar di sekolah bukan satu-satunya faktor yang menentukan corak kehidupan orang (Soelaiman Joesoef, 1979:16)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pengertian Penelitian
Penelitian merupakan suatu proses yang panjang, ia berawal pada minat untuk mengetahui fenomena tertentu dan selanjutnya berkembang menjadi gagasan, teori, konsep, pemilihan metode penelitian yang sesuai, dan seterusnya. Hasil akhirnya pada gilirannya melahirkan gagasan dan teori baru sehingga merupakan suatu proses yang tiada hentinya (Masri Singarimbun, 1984 : 4 ).
3.2 Metode Penelitian Deskriptif
Penelitian dan pengkajian dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode deskriptif yang bertujuan menggambarkan pandangan masyarakat petani dalam bidang pendidikan.
3.2.1 Pengertian Metode Penelitian Deskriptif
Menurut Sartono Kartodirdjo, seperti yang dikutip oleh Helius Sjamsuddin, metode adalah bagaimana orang memperoleh pengetahuan (Helius Sjamsuddin, 1994 : 3 ). Menurut Nana Sudjana, metode penelitian deskriptif lebih menekankan kepada strategi , proses dan pendekatan dalam memilih jenis, karateristik serta dimensi ruang dan waktu dari data yang diperlukan.
3.2.2 Tujuan Metode Penelitian Deskriptif
Metode penelitian deskriptif bisa mendeskripsikan satu variable atau lebih dari satu variabel penelitian. Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat – sifat suatu individu, gejala lain dalam masyarakat. (Koentjaraningrat, 1990 :29 ).
Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk pengukuran yang cermat terhadap fenomena social tertentu, misalnya perceraian, pengangguran, keadaan gizi, putus sekolah, preferensi terhadap politik tertentu, dan lain-lain. Peneliti menggembangkan konsep dan menghimpun fakta, tetapi tidak melakukan pengujian hipotesa (Masri Singarimbun, 1984 : 4).
3.3 Sumber Data
Pengertian sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data diperoleh. Menurut Suharsimi Arikunto (1993:114) dalam bukunya Prosedur Penelitian, sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini berasal dari berbagai nara sumber.
Sumber data yang dimanfaatkan dalam penelitian ini meliputi informan, dokumen dan tempat dilakukannya penelitian.
3.3.1 Informan
Yaitu orang yang diwawancarai intuk diminta informasinya tentang pandangan masyarakat petani terhadap pendidikan. Hal ini dapat dilakukan wawancara, yaitu melakukan serangkaian Tanya jawab secara langsung kepada masyarakat petani di Kelurahan Gambut, baik petani pemilik, petani penggarap, dan petani buruh serta tokoh masyarakat setempat agar didapat kesimpulan mengenai persepsi mereka tentang pendidikan.
Wawancara merupakan usaha sekaligus alat yang digunakan untuk mengumpulkan informasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk dijawab secara lisan pula oleh sumber informasi (informan) secara sederhana, wawancara ini diartikan sebagai alat pengumpul data dengan Tanya jawab antara pencari data dengan sumber informasi ( Basri MS, 2006 : 60 ).
Wawancara digunakan untuk menghimpun data sosial dan sejenisnya, sekurang-kurangnya mempunyai tiga fungsi :
(1) Sebagai alat primer, jika data-data atau bukti-bukti tidak lebih dihimpin dengan alat lain.
(2) Sebagai pelengkap, jika sebagian data-data atau bukti-bukti telah diperoleh dengan cara lain, tetapi masih diperlukan wawancara untuk melengkapi informasi.
(3) Sebagai pembanding, yakni untuk menguji atau membandingkan dengan informasi, data, bukti-bukti melalui wawancara dngan bukti yang diperoleh melalui cara lain sebelumnya (Basri MS, 2006 : 61 ).
Adapun alat-alat yang digunakan dalam pengumpulan data antara lain :
(1) Menyediakan daftar pertanyaan sesuai dengan kebutuhan topik permasalahan.
(2) Menyediakan alat perekam dan tustel.
(3) Menyediakan alat tulis untuk pencatatan ( Basri MS, 2006 : 61 ).
3.3.2 Dokumentasi
Teknik pengumpulan data melalui telaah dokumentasi ini merupakan jenis/teknik yang paling banyak dan paling menonjol digunakan dalam penelitian. Istilah lain yang sering digunakan ialah studi kepustakaan atau library research. Dalam kaitan ini, pengertian dokumentasi mencakup pengertian yang luas. Ia meliputi berbagai sumber seperti karya ilmiah, arsip, majalah, dan Koran ( Barsi MS, 2006 : 63 )
Dalam penulisan skripsi ini penulis memperoleh data sekunder dari studi kepustakaan, yaitu dari buku-buku, majalah, koran, dan arsip yang relevan engan objek penelitian untuk melengkapi data-data yang belum didapat dari para narasumber.
3.3.3 Tempat Dilakukannya Penelitian.
Dalam penelitian ini, penulis terjun langsung ke tempat dilakukannya penelitian dengan melakukan pengamatan langsung terhadap kegiatan para petani di Kelurahan Gambut sehari-hari.]
3.4 Analisis Data
Menurut Patton, 1980 (dalam Lexy J. Moleong 2002: 103) menjelaskan bahwa analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikanya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Sedangkan menurut Taylor, (1975: 79) mendefinisikan analisis data sebagai proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan hipotesis (ide) seperti yang disarankan dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan dan tema pada hipotesis. Jika dikaji, pada dasarnya definisi pertama lebih menitikberatkan pengorganisasian data sedangkan yang ke dua lebih menekankan maksud dan tujuan analisis data. Dengan demikian definisi tersebut dapat disintesiskan menjadi: Analisis data proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang didasarkan oleh data.
Analisis data merupakan upaya mencari dan menata data secara sistematis untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain. Proses analisis data dalam penelitian kualitatif dimulai dengan menelaah seluruh data yang terkumpul dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto dan sebagainya. Catatan dibedakan menjadi dua, yaitu yang deskriptif dan yang reflektif (Noeng Muhadjir.2000: 139). Catatan deskriptif lebih menyajikan kejadian daripada ringkasan. Catatan reflektif lebih mengetengahkan kerangka pikiran, ide dan perhatian dari peneliti. Lebih menampilkan komentar peneliti terhadap fenomena yang dihadapi.
Setelah dibaca, dipelajari, dan ditelaah maka langkah berikutnya adalah mengadakan reduksi data dengan jalan membuat abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya. Langkah selanjutnya adalah menyusun dalam satuan-satuan dan kategorisasi dan langkah terakhir adalah menafsirkan dan atau memberikan makna terhadap data.
Analisis data itu dilakukan dalam suatu proses. Proses berarti pelaksanaannya sudah mulai dilakukan sejak pengumpulan data dilakukan dan dikerjakjan secara intensif, yaitu sudah meninggalkan lapangan. Pekerjaan menganalisis data memerlukan usaha pemusatan perhatian dan pengerahan tenaga, pikiran peneliti. Selain menganalisis data. Peneliti juga perlu dan masih perlu mendalami kepustakaan guna mengkonfirmasikan teori atau untuk menjastifikasikan adanya teori baru yang barangkali ditemukan.
3.5 Keabsahan Data
Untuk menghindari kesalahan atau kekeliruan data yang telah terkumpul,perlu dilakukan pengecekan keabsahan data. Pengecekan keabsahan data didasarkan pada kriteria deraja kepercayaan (crebility) dengan teknik trianggulasi,ketekunan pengamatan, pengecekan teman sejawat (Moleong, 2004).
Triangulasi merupakan teknik pengecekan keabsahan data yang didasarkan pada sesuatu di luar data untuk keperluan mengecek atau sebagai pembanding terhadap data yang telah ada (Moleong,200). Trigulasi yang digunakan adalah trigulasi dengan sumber, yaitu membandingkan data hasil observasi, dan hasil wawancara terhadap subjek yang ditekankan pada penerapan metode bantuan alat pada efektif membaca .
Ketekunan pengamatan dilakukan dengan teknik melakukan pengamatan yang diteliti, rinci dan terus menerus selama proses penelitian berlangsung yang diikuti dengan kegiatan wawancara secara intensif terhadap subjek agar data yang dihasilkan terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Pengecekan teman sejawat/kolega dilakukan dalam bentuk diskusi mengenai proses dan hasil penelitian dengan harapan untuk memperoleh masukan baik dari segi metodelogi maupun pelaksanaan tindakan.
BAB V
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN MASYARAKAT KELURAHAN GAMBUT
3.1. Pendidikan Masyarakat Gambut
Dalam definisi alternatif atau luas terbatas, pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan, yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat, untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat di masa yang akan datang. Pendidikan adalah pengalaman–pengalaman belajar terprogram dalam bentuk pendidikan formal, non formal, dan informal di sekolah, dan di luar sekolah, yang berlangsung seumur hidup yang bertujuan optimalisasi pertimbangan kemampuan-kemampuan individu, agar dikemudian hari dapat memainkan peranan hidup secara tepat (Redja Mudyahardjo, 2002 : 11).
Bidang dan peranan pendidikan mempunyai pengaruh yang sangat menentukan terhadap status sosial dan corak budaya serta merupakan barometer bagi suatu masyarakat (Fudiat Suryadikara, 1979:14). Bagi penduduk Kelurahan Gambut, dalam masalah pendidikan dapat dikategorikan cukup memuaskan, terutama jumlah jenis sekolah, karena hampir semua jenis sekolah dari yang rendah (taman kanak-kanak) hingga sekolah menengah, baik yang bercorak umum maupun yang bercorak keagamaan terdapat disini. Sebagian besar sekolah-sekolah tersebut dikelola oleh pemerintah, selain itu pihak swasta atau masyarakat juga mengambil bagian dalam usaha membenahi masalah pendidikan ini, khususnya dalam pendidikan yang bercorak keagamaan.
Sesuai dengan keadaan masyarakat Gambut yang agamis dan mayoritas penduduknya beragama Islam, maka hampir pada setiap beberapa kilometer terdapat sekolah-sekolah yang bercorak keagamaan atau madrasah. Disinilah nilai-nilai keagamaan secara formal mulai ditanamkan kepada anak-anak dengan harapan kalau sudah dewasa mereka akan menjadi penganut agama yang baik.
Madrasah sebagai salah satu jenis dan lembaga pendidikan formal yang banyak berorientasi kepada masalah-masalah keagamaan, merupakan dasar pertama dalam pembinaan kesadaran beragama dalam masyarakat Gambut. Sementara itu bagi anak-anak yang tidak melalui madrasah atau sekolah-sekolah agama, maka dalam usaha pendidikan dan pembinaan kesadaran beragama tersedia wadah-wadah pendidikan non formal yang diselenggarakan oleh masyarakat berupa pengajian-pengajian agama atau penerangan-penerangan agama dan sebagainya. Karena itu banyak juga diantara mereka yang mengunjungi pengajian-pengajian atau penerangan-penerangan tersebut, baik secara rutin maupun sewaktu-waktu. Ada yang atas dasar kesadarannya sendiri sebagai akibat dari pengaruh lingkungan dan ada pula karena dorongan dan wibawa dari orang tua. (Fudiat Suryadikara, 1979:16)
3.2. Pendidikan Yang Ada Di Kelurahan Gambut
Di Kelurahan Gambut, terdapat 2 jenis pendidikan formal, yaitu pendidikan yang bersifat umum dan pendidikan yang bersifat keagamaan.
3.2.1 Pendidikan Umum
Adapun pendidikan yang bersifat umum di Kelurahan Gambut adalah:
a. Taman Kanak-Kanak (disingkat TK)
Merupakan jenjang pendidikan anak usia dini (yakni usia 6 tahun atau di bawahnya) dalam bentuk pendidikan formal. Kurikulum TK ditekankan pada pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Lama belajar seorang siswa TK biasanya tergantung pada tingkat kecerdasan anak yang dinilai dari rapor per semester. Namun secara umum untuk lulus dari tingkat program di TK adalah 2 tahun, yaitu : TK O (nol) Kecil (TK Kecil) selama satu tahun dan TK O (nol) Besar (TK Besar) selama satu tahun.
Umur rata-rata minimal anak mulai dapat disekolahkan ke sebuah taman kanak-kanak adalah 4-5 tahun. Sedangkan umur rata-rata untuk lulus dari TK adalah 6-7 tahun. Setelah lulus dari TK, atau pendidikan formal dan non formal lainnya yang sederajat, siswa kemudian melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi diatasnya yaitu Sekolah Dasar atau yang sederajat (www.wikipedia.org).
Di Kelurahan Gambut sampai tahun 2005, tercatat sekolah Taman Kanak-kanak sejumlah 3 sekolah dengan kondisi sebagian rusak. Taman Kanak-kanak ini dibagi dalam dua : bagian A untuk anak-anak umur 4 tahun, dan bagian B untuk anak umur 5 tahun, dan merupakan kelas-kelas persiapan bagi Sekolah Dasar.
Dalam wawancara (Kamis, 29 Mei 2008), dengan guru-guru TK di TK Mutiara salah satu sekolah Taman Kanak-kanak di Kelurahan Gambut, diperoleh informasi tiap kelas diisi oleh kurang lebih 15 sampai 20 orang deri tahun 2000 sampai 2005. mereka merupakan anak-anak dari berbagai kalangan, orang tuanya 30 persen bermatapencaharian sebagai petani dan selebihnya bekerja di bidang lain, baik pegawai negeri ataupun swasta.
Dalam wawancara juga diperoleh informasi tentang kegiatan-kegiatan anak dalam pelajaran di sekolah TK yang memperhatikan 3 hal:
1. Perkembangan anak
Baik perkembangan jasmani maupun rohani harus diintegrasikan pada kebutuhan-kebutuhan anak.
2. Alam sekitar anak
Segala kegiatan harus berorientasi pada keadaan materiil. Segala alat-alat haraplah dicari di alam sekitar sendiri, dan hendaklah serba sederhana adanya.
3. Lingkungan Sosial
Kesadaran bahwa anak termasuk dan tergolong dalam masyarakat, harus dipupuk, sehingga anak berkembang menjadi manusia sosialis
b. Sekolah Dasar (disingkat SD)
Adalah jenjang paling dasar pada pendidikan formal di Indonesia. Pendidikan Dasar ini dilancarkan oleh UNESCO pada tahun 1949,terutama untuk “menolong masyarakat untuk mencapai kemajuan sosial ekonomi, agar demikian merka dapat menduduki tempat yang layak dalam dunia modern”. Pendidikan ini jelas ditujukan kepada masyarakat dan daerah yang terbelakang agar masyarakat dan daerah dapat menyamai dengan masyarakat sekitarnya yang lebih maju. Pendidakan ini di tempuh selama 6 tahun. Karena pendidikan ini merupakan pendidikan dasar maka materinya pun sederhana, seperti :
Kecakapan berfikir dan bergaul
- Kecakapan kerajinan dan kesenian
- Pendidikan kesehatan
- Pengetahuan tentang lingkungan alam
- Pendidikan jiwa dan akhlak (soelaiman Joesoef, 1979 : 6)
SD di Kelurahan Gambut, Sekolah Dasar sampai tahun 2005 tercatat berjumlah 9 sekolah dengan kondisi baik. Sekolah Dasar di Kelurahan Gambut terdiri dari Sekolah Dasar Negeri yang berjumlah 5 sekolah dan Sekolah Dasar Inpres yang berjumlah 4 sekolah.
Dalam wawancara (Kamis, 29 Mei 2008) dengan guru-guru Sekolah Dasar di SDN Gambut 3, diperoleh informasi dari tahun 2000 sampai 2005 tiap kelas diisi rata-rata 10 sampai 15 orang siswa. Mereka merupakan anak-anak dari petani sekitar 30 sampai 40 persen, dn selebihnya adalah anak-anak yang orang tuanya bekerja di bidang lain.
Sekolah Dasar di Kelurahan Gambut merupakan lembaga pendidikan yang memberi dasar-dasar pengetahuan dan kecakapan, dan memberikan kesempatan bagi anak tamatan Sekolah Dasar untuk melanjutkan pelajarannya ke sekolah yang lebih tinggi.
Tujuan pendidikan SD menurut kurikulum 1994 adalah :
1. Memberikan bekal kemampuan dasar Baca-Tulis-Hitung, pengetahuan dan keterampilan dasar yang bermanfaat bagi murid sesuai dengan tingkat perkembangannya,
2. Mempersiapkan anak didik mengikuti pendidikan SLTP (Redja Mudyahardjo, 2002 : 450-451)
Di Kelurahan Gambut, struktur program pendidikan SD-nya berdasarkan kurikulum 1994, yang mencakup mata-mata pelajaran : (1) Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, (2) Pendidikan Agama, (3) Bahasa Indonesia, (4) Matematika, (5) Ilmu Pengetahuan Alam, (6) Ilmu Pengetahuan Sosial, (7) Keterampilan Tangan dan Kesenian, (8) Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, dan (9) Muatan Lokal.
c. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (disingkat SLTP)
Adalah pendidikan setelah Sekolah Dasar dan pengelolaannya dilakukan oleh Departemen Pendidikan. Pendidikan SLTP ditempuh dalam waktu 3 tahun mulai dari kelas 7 sampai kelas 9.
Di Kelurahan Gambut, sampai tahun 2005, terdapat 1 SLTP yang bernama SMPN 1 Gambut dengan kondisi sekolah baik. Di SMPN 1 Gambut sampai tahun 2005, terdiri dari 12 ruang kelas, 37 orang guru dan dengan jumlah murid 386 orang, yaitu 181 orang murid laki-laki dan 205 orang murid perempuan.
Tujuan pendidikan dasar yang diselenggarakan di SLTP menurut kurikulum SLTP 1994, yaitu :
1. Membicarakan kemampuan dasar yang merupakan perluasan serta peningkatan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh di Sekolah Dasar yang bermanfaat bagi siswa untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan warga negara sesuai dengan tingkat perkembangannya.
2. Mempersiapkan mereka untuk mengikuti pendidikan menengah (Redja Mudyahardjo, 2002 : 450-451).
Di SMPN 1 Gambut, program kurikulumnya mengikuti kurikulum SLTP 1994 yang mencakup 10 mata pelajaran, yaitu : (1) Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, (2) Pendidikan Agama, (3) Bahasa Indonesia, (4) Matematika, (5) Ilmu Pengetahuan Alam, (6) Ilmu Pengetahuan Sosial, (7) Keterampilan Tangan dan Kesenian, (8) Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, (9) Bahasa Inggris dan (10) Muatan Lokal.
d. Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (disingkat SLTA)
Adalah pendidikan yang ditujukan kepada masyarakat pemuda yang perlu mendapatkan pendidikan secukupnya menjelang memasuki gerbang kehidupan dewasa dengan memberi satu atau beberapa keahlian dan ataupun pengetahuan yang bersifat umum agar kelak dapat dipakai sebagai alat mencari pekerjaan atau nafkah (soelaiman Joesoef, 1979 : 5).
Pendidikan SLTA ditempuh dalam waktu 3 tahun mulai dari kelas 10 sampai kelas 12.
Di Kelurahan Gambut, sampai tahun 2005, terdapat 1 SLTA yang bernama SMAN 1 Gambut dengan kondisi sekolah baik. Di SMAN 1 Gambut sampai tahun 2005, terdiri dari 17 ruang kelas, 37 orang guru dan dengan jumlah murid 677 orang, yaitu 313 orang murid laki-laki dan 364 orang murid perempuan
Tujuan pendidikan SMA menurut kurikulum SMA 1994 yaitu :
1. Meningkatkan pengetahuan siswa untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi dan mengembangkan diri sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian.
2. Meningkatkan kemampuan siswa sebagai anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitarnya (Redja Mudyahardjo, 2002 : 462).
3.2.2. Pendidikan Bersifat Agama
Madrasah adalah lembaga pendidikan yang menggunakan kata madrasah, yang berasal dari kata darasa (belajar). Jadi madrasah berarti tempat belajar. Secara fungsional, madrasah mrupakan lembaga pendidikan yang datang ke dunia pendidikan slam di Indonesia pertama sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan pendidikan islam pada jamannya, terutama adanya tantangan dari Belanda sehubungan dengan politik etisnya yang melahirkan bantuan untuk memajukan usaha pendidikan. Kedua, adanya usaha penyempurnaan sistem pesantren kearah suatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum, terutama kesempatan kerja ( Sadali, 1984 : 199 ).
Madrasah sebagai fungsi pendidikan berfungsi sebagai penghubung antara sistem yang lama dan sistem yang baru, atau sebagai suatu pembaharuan yang berusaha mempertahankan nilai-nilai lama yang baik dan mengambil hal-hal baru (science, teknologi dan ekonomi) yang lebih baik ( Sadili, 1984 : 200).
Adapun sekolah sekolah yang bersifat keagamaan di Kelurahan Gambut adalah:
a. Madrasah Ibtidaiyah (disingkat MI)
Adalah jenjang paling dasar pada pendidikan formal di Indonesia, setara dengan Sekolah Dasar, yang pengelolaannya dilakukan oleh Departemen Agama. Pendidikan Madrasah Ibtidaiyah ditempuh dalam waktu 6 tahun, mulai dari kelas 1 sampai kelas 6. Lulusan Madrasah Ibtidaiyah dapat melanjutkan pendidikan ke Madrasah Tsanawiyah atau Sekolah Menengah Pertama.
Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah sama dengan kurikulum Sekolah Dasar, hanya saja pada MI terdapat porsi lebih banyak mengenai Pendidikan Agama Islam. Di Kelurahan Gambut terdapat 2 MI, yaitu MIN Gambut dan MI Hidayatul Islamiyah Gambut. MIN Gambut sampai tahun 2005, terdiri dari 6 ruang kelas, 22 orang guru dan dengan jumlah murid 147 orang, yaitu 83 orang murid laki-laki dan 64 orang murid perempuan. Sedangakan di MI Hidayatul Islamiyah Gambut sampai tahun 2005, terdiri dari 6 ruang kelas, 10 orang guru dan dengan jumlah murid 32 orang, yaitu 17 orang murid laki-laki dan 15 orang murid perempuan.
Di MI Hidayatul Islamiyah Gambut diisi oleh anak-anak yang kebanyakan dari keluarga petani (60%), dari 32 orang siswa, 19 orang merupakan anak petani, dan 13 orang lainnya merupakan anak dari pegawai dan pedagang.
b. Madrasah Tsanawiyah (disingkat MTs)
Adalah adalah jenjang paling dasar pada pendidikan formal di Indonesia, setara dengan Sekolah Menengah Pertama, yang pengelolaannya dilakukan oleh Departemen Agama. Pendidikan Madrasah Tsanawiyah ditempuh dalam waktu 3 tahun, mulai dari kelas 7 sampai kelas 9. Lulusan Madrasah Tsanawiyah dapat melanjutkan pendidikan ke Madrasah Aliyah atau Sekolah Menengah Atas Kurikulum Madrasah Tsanawiyah sama dengan kurikulum Sekolah Menengah Pertama, hanya saja pada MTs terdapat porsi lebih banyak mengenai Pendidikan Agama Islam.
Di Kelurahan Gambut, sampai tahun 2005, terdapat 1 MTs yang bernama MTs 1 Gambut dengan kondisi sekolah baik. Di MTs 1 Gambut sampai tahun 2005, terdiri dari 13 ruang kelas, 38 orang guru dan dengan jumlah murid 458 orang, yaitu 201 orang murid laki-laki dan 257 orang murid perempuan.
c. Madrasah Aliyah (disingkat MA)
adalah adalah jenjang paling dasar pada pendidikan formal di Indonesia, setara dengan Sekolah Menengah Atas, yang pengelolaannya dilakukan oleh Departemen Agama. Pendidikan Madrasah Aliyah ditempuh dalam waktu 3 tahun, mulai dari kelas 10 sampai kelas 12.
Pada tahun kedua (yakni kelas 11), seperti halnya siswa SMA, siswa MA memilih salah satu dari 4 jurusan yang ada, yaitu Ilmu Alam, Ilmu Sosial, Ilmu-Ilmu Keagamaan Islam, dan Bahasa. Pada akhir tahun ketiga (yakni kelas 12), siswa diwajibkan mengikuti Ujian Nasional (dahulu Ebtanas) yang mempengaruhi kelulusan siswa. Lulusan Madrasah Aliyah dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan Tinggi Umum atau Perguruan Tinggi Agama (Islam) atau langsung bekerja.
Kurikulum Madrasah Aliyah sama dengan Kurikulum Sekolah Menengah Atas, hanya saja pada MA terdapat porsi lebih banyak muatan Pendidikann Agama Islam, yaitu Fikih, aqidah ahlak, Al Quran, Hadist, Bahasa Arab dan sejarah Islam (Sejarah Kebudayaan Islam).
Pelajar Madrasah Aliyah umumnya berusia 16-18 tahun. SMA/MA tidak termasuk program wajib belajar pemerintah, sebagaimana siswa Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah 6 tahun dan Sekolah Menengah Pertama atau Madrasah Tsanawiyah 3 tahun (www.wikipedia.org).
Di Kelurahan Gambut, sampai tahun 2005, terdapat 1 MAN yang bernama MAN 1 Gambut dengan kondisi sekolah baik. Di MAN 1 Gambut sampai tahun 2005, terdiri dari 10 ruang kelas, 37 orang guru dan dengan jumlah murid 382 orang, yaitu 128 orang murid laki-laki dan 254 orang murid perempuan.
3.2.3 Pendidikan Masyarakat
Tujuan pendidikan masyarakat di lingkungan Kelurahan Gambut adalah sama dengan tujuan hidup Islam, yaitu mengabdi sepenuhnya kepada Allah, sesuai dengan ajaran yang disampaikan Nabi Muhammad SAW. dalam bentuk Al-Quran, serta perkataan, tingkah laku dan perbuatan nabi sendiri (sunnah), untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Adapun bentuk-bentuk pendidikan masyarakat di Kelurahan Gambut antara lain :
a. Pengajian
Di tiap RT di lingkungan Kelurahan Gambut, warga biasanya membentuk acara-acara pengajian. Yaitu pendidikan yang membahas tentang kehidupan keagamaan. Biasanya dilakukan di mesjid atau langgar yang dipimpin oleh seorang ulama dengan cara memberikan ceramah kepada masyarakat yang datang mengikuti pengajian. Biasanya pengajian diikuti ibu-ibu, bapak-bapak, dan kadang-kadang remaja.
b. TPA
Di kelurahan Gambut terdapat beberapa Taman Pengajian Al-Quran (TPA). TPA memberikan kesempatan kepada anak-anak dari semua kalangan untuk belajar mengaji dan mengerti fikih. Biasanya yang mengikuti pembelajaran di TPA adalah anak-anak SD atau MI. Pengajar-pengajar TPA ini adalah guru-guru agama atau guru MI.
Pendidikan di TPA dilaksanakan di langgar/surau pada sore hari dengan program belajar :
(1) Membaca Al-Quran, termasuk belajar huruf hijaiah
(2) Ibadat seperti berwudhu, shalat, dan lain-lain
(3) Keimanan atau sifat 20
(4) Akhlak dengan cerita-cerita.
BAB VI
PANDANGAN MASYARAKAT PETANI KELURAHAN GAMBUT TERHADAP PENDIDIKAN
6.1 Masyarakat Petani Kelurahan Gambut
Pada masyarakat petani di Kelurahan Gambut, hidup penduduknya sangat tergantung dari tanah, dengan selalu bekerjasama untuk memenuhi keperluannya dan kepentingannya. Contohnya : waktu pembukaan tanah baru atau waktu musim tanam mereka bekerja secara bersama-sama, karena mengolah tanah memerlukan tenaga yang banyak dan sulit untuk dilakukan oleh satu keluarga saja. Lama kelamaan timbullah kemasyarakatan yang dinamakan gotong royong.
Pembagian masyarakat pedesaan yang memegang peranan penting adalah dari mereka yang tergolong orang tua, yang selalu dimintai petunjuk dan nasehatnya apabila ada masalah dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Golongan orang-orang tua mempunyai pandangan yang sangat tradisional. Akibatnya kalau ada pembaharuan atau perubahan-perubahan tentang sesuatu yang baru akan menemui kesulitan.
Pengendalian sosial masyarakat di Kelurahan Gambut dirasakan sangat kuat, sehingga perkembangan jiwa individu sulit untuk dilaksanakan. Rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya alat-alat komunikasi merupakan faktor yang secara tidak langsung ikut mempersulit untuk merubah jalan fikiran ke arah jalan fikiran yang bersifat ekonomis.
Salah satu ciri terpenting masyarakat pertanian yang membedakannya dari masyarakat industri adalah makna kelompok primer sebagai unsur yang membentuk masyarakat. Kelompok primer ditandai oleh kecilnya kelompok, lemahnya tingkat formalisasi, baik fungsi yang dipikul oleh kelompok, maupun persatuan dan solidaritas anggota kelompok, begitu juga lemahnya keterkaitan dengan norma-norma kelompok. Mereka ini dalam semua masyarakat pertanian lebih penting artinya dibandingkan kelompok sekunder yang bercirikan organisasi rasional, berorientasi ketujuan yang spesifik dan mempunyai jumlah anggota yang lebih banyak.
Kelompok sekunder sangat dibutuhkan tidak hanya dimasyarakat industri, tetapi juga dalam masyarakat pertanian di negara sedang berkembang yang sedang menghadapi proses modernisasi. Tetapi sampai saat ini masyarakat petani Kelurahan Gambut kurang membuat terobosan, seperti yang diharapkan pemerintah, partai dan agen pembangunan. Contoh yang khas adalah koperasi di negara sedang berkembang yang dengan alasan demi kemakmuran ekonomi sering dibangun sebagai organisasi besar bersama. Tetapi justru karena alasan inilah di dalam masyarakat yang kelompok primernya menonjol koperasi ini sering tidak berkembang.
Keluarga besar dalam masyarakat petani bisa saja terdiri dari orang tua, anak-anak lelaki yang sudah menikah dengan istri-istri mereka, anak-anak yang belum menikah dan mungkin juga ada kerabat yang belum menikah, maka bisa disebutkan enam fungsi potensial yang jarang dilakukan secara serentak :
a. Tinggal bersama
Semua anggota hidup di suatu rumah atau di satu halaman rumah.
b. Tumah tangga bersama
Anggota keluarga masak, makan dan mendidik anak bersama-sama. Keluarga inti anak-anak yang telah menikah paling cepat memisahkan diri dari pengadaan bahan makanan bersama, sedangkan dalam pendidikan anak mereka masih bertahan lebih lama.
c. Produksi bersama
Orang tua, anak dan kerabat lainnya mengolah tanah bersama. Anak-anak keluar dari fungsi ini jika membangun keluarga sendiri atau beberapa waktu berselang. Kemandirian ini mudah, apabila tersedia cukup tanah dan biaya pengadaan alat usahanya tidak banyak juga dimana muncul beberapa usaha pertanian yang mandiri, dibidang teretntu masih dipertahankan kerjasama yang erat dengan ayah atau diantara saudara-saudaranya, misalnya membantu kerja, menyediakan tenaga tambahan atau tenaga kerja lainnya.
d. Pembagian alat-alat produksi
Tanah yang merupakan milik bersama, akan dibagikan oleh kepala desa atau pimpinan keluarga kepada setiap orang yang berhak mengolahnya.
e. Penopang solidaritas dan jaminan sosial
Hal-hal yang terlalu mahal secara ekonomi bagi seseorang atau keluarga kecil tertentu, diambil alih oleh ikatan keluarga. Misal pembiayaan pendidikan yang mahal dan terutama tunjangan kepada anggota keluarga yang sudah tua dan yang sedang dalam kesulitan.
f. Wewenang membuat keputusan ekonomi yang penting
Terutama sekali dilakukan jika kegiatan baru membutuhkan ongkos tinggi dan mengandung resiko besar, tetua desa mempunyai pengaruh besar. Fungsi dijalankan berdasarkan prinsip senioritas dalam masyarakat tani, begitu juga usaha untuk tetap berpegang pada fungsi kelima : siapa ikut menanggung resiko, dia pun memperoleh hal ikut menentukan.
Setelah keluarga, kelompok primer yang terpenting di dalam masyarakat pertanian di Kelurahan Gambut adalah lingkungan tetangga dan teman. Dalam daerah pemukiman yang letaknya berpencaran, tetangga saling tergantung satu sama lain. Begitu juga dalam pemukiman-pemukiman desa, tetangga merupakan elemen yang mendorong terbentuknya kelompok. Seringkali terdapat usaha yang formal, seperti misalnya semua anggota pemukiman tertentu ikut membantu dalam pembangunan rumah baru untuk seorang tetangga, bekerjasama membuat sumur atau tugas-tugas lain demi kepentingan bersama.
Kerjasama ini semakin berkurang akibat indiviudualisme yang semakin meningkat sampai ke ikatan desa. Yang lebih sering adalah kerjasama informal, terutama membantu dengan peralatan atau dengan tenaga kerja pada akhir suatu periode kerja. Syarat untuk kerjasama demikian terutama adalah keanggotaan dalam lapisan sosial yang sama dan sering juga kelompok umur yang sama. Seorang petani kecil akan lebih senang pergi ke petani kecil lainnya yang tinggal jauh, daripada ke tetangga didekatnya yang merupakan petani kaya dan bahkan sama sekali tidak ke petani yang tanpa tanah.
Persoalan bahwa pendidikan dianggap cukup banyak bagi anak-anak petani walau hanya sampai sekolah dasar, hanyalah salah satu dari sekian penyebab rendahnya pendidikan di daerah pertanian. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, mayuoritas orang tua yang diwawancarai menjawab bahwa putus sekolah karena tidak mampu dalam pembiayaan menjadi alasan utama. Dengan kata lain karena masalah ekonomi, anak-anak harus diharapkan dengan alternatif mencari nafkah.
6.2 Pelapisan Sosial Masyarakat Pertanian di Kelurahan Gambut
Masyarakat Kelurahan Gambut mayoritas hidup di daerah pedesaan, dengan mata pencaharian di sektor pertanian. Pada umumnya mereka sangat tergantung kepada tanah yang dimiliki. Tanah merupakan faktor penting dalam produksi pertanian di Kelurahan Gambut, sekaligus merupakan Faktor penting dalam mempengaruhi hubungan sosial masyarakat. Sehingga nilai ekonomi, sosial, politik dan tanah menjadi sangat penting.
Pada masyarakat yang mayoritas warganya hidup dengan mengandalkan tanah sebagai lahan pertanian, lazimnya struktur sosial masyarakatnya didasarkan atas status kepemilikan tanah. Hubungan produksi yang berkaitan dengan kepemilikan tanah akan berpengaruh pada hubungan-hubungan sosial masyarakat. Pada gilirannya akan berpengaruh pada pelapisan social masyarakat. Sehingga, pemilikan atas tanah merupakan suatu sub dimensi pelapisan sosial masyarakat pertanian di Kelurahan Gambut. Pemilik tanah dianggap lebih tinggi kedudukannya dibanding penyewa tanah (petani penggarap) dan buruh tani.
Pola kehidupan masyarakat pertanian di Kelurahan Gambut umumnya bersifat komunal (mementingkan kepentingan umum), yang ditandai dengan ciri-ciri masyarakatnya yang homogen, hubungan sosialnya bersifat personal, saling mengenal serta adanya kedekatan hubungan yang lebih intim. Gambaran semacam itu oleh Ferdinand Tonnies disebut tipe masyarakat “Gemeinschaff”, yang istilah dalam bahasa Indonesia-nya adalah masyarakat paguyuban. Masyarakat Gemeinschaff adalah masyarakat yang ditandai dengan hubungan anggota-anggotanya bersifat pribadi, sehingga menimbulkan ikatan yang sanagt mendalam dan batiniah. Lawan dari Gemeinschaff adalah Gesselschaff. Masyarakat Gesselschaff adalah amsyarakat yang kehidupan anggitanya lebih mengutamakan kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan, serta memperhitungkan untung rugi ( Scoot, James, 1994 : 2 ).
Secara umum, masyarakat Gemeinschaff memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Pendidikan bersifat non formal yang diberikan dari orang tua pendahulu mereka.
b. Hubungan kekerabatan dan terhadap masyarakat setempat sangat kuat.
c. Kepercayaan yang kuat terhadap kekuatan yang berada di luar yang berbau magis dan gaib.
d. Tingkat deferensisasi dan spesialisasi rendah.
e. Media komunikasi lisan dan tatap muka.
f. Teknologi sederhana.
g. Kepemimpinan bersifat keturunan.
Sedangkan masyarakat Gesselschaff memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Berfikir rasional dan berorientasi pada perubahan dan inovasi baru.
b. Tingkat diferensasi dan spesialisasi tinggi.
c. Mengenal teknologi tinggi.
d. Pemimpin berdasar pada kualitas pribadi.
e. Komunikasi dilakukan tidak langsung dan menggunakan media elektronik ( Scoot, James, 1994 : 3 ).
Dalam perkembangannya, masyarakat petani di Kelurahan Gambut mengalami pergeseran dalam mengakomodasi unsur-unsur baru, sehingga dikenal ada petani tradisional dan ada petani modern. Berikut ciri-ciri keduanya :
Petani Tradisional
Petani Modern
Satuan usaha kecil-kecil, pemilikan berdasarkan adapt dan tradisi.
Penggunaan tenaga kerja keluarga.
Produksi ditujukan untuk konsumsi keluarga.
motivasi kerja untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
dikelola secara komunal.
gaya hidupnya bersahaja atau petani berlumpur
1. Lahan kegiatannya luas.
2. Pemilikan tanah diresmikan oleh pemerintah
3. Banyak memperkerjakan tenaga dari luar
4. hasil produksinya untuk di jual ke pasaran
5. Motivasi untuk bisnis.
6. pengelolaan secara modern.
7. gaya hidup perkotaan.
Mengingat kedudukan tanah pertanian yang sangat penting sehingga mempengaruhi pola hubungan sosialnya, maka struktur kepemilikan tanah masyarakat pertanian menentukan sistem pelapisan sosial anggota-anggotnya. Secara umum, pelapisan sosial masyarakat di Kelurahan Gambut terdiri atas :
tuan tanah/pemilik tanah.
Kelas penyewa.
Kelas pedagang.
Kelas rohaniawan.
Kelas petani.
Kelas seniman.
Kelas sampah masyarakat.
Empat yang disebut pertama merupakan kelompok kelas yang mempunyai hak-hak istimewa.
Sedangkan pelapisan sosial masyarakat pertanian di Kelurahan Gambut tersusun atas lapisan-lapisan sebagai berikut:
a. lapisan pertama, terdiri dari mereka yang tanahnya sangat luas. Tanah-tanah tersebut disewakan kepada pihak lain. Mereka ini disebut golongan tuan tanah atau pemilik tanah/ petani pemilik.
b. Lapisan kedua, mereka yang menggarap tanah. Mereka ini di sebut dengan petani penggarap.
c. Lapian ketiga, mereka tidak mempunyai tanah serta tidak mampu menyewa. Mereka hanya sebagai buruh, sehingga di sebut buruh tani.
6.3 Latar Belakang Pendidikan Masyarakat Petani
Dalam masyarakat petani di Kelurahan Gambut, latar belakang budaya dalam menyekolahkan anak tidak begitu besar dibandingkan dengan mengajarkan anak pada sektor-sektor pertanian, seperti mengolah tanah, menanam, dan memanen.
Pendidikan kepala rumah tangga mempunyai pengaruh besar terhadap pendidikan anak-anaknya. Orang tua dengan pendidikan yang tinggi akan mempunyai persepsi (pemahaman) dan motivasi yang cukup besar untuk mendorong agar anaknya berpendidikan tinggi pula.
Pengaruh tingkat pendidikan kepala rumah tangga terhadap tingkat pendidikan di kalangan masyarakat petani masih tetap besar. Kepala rumah tangga yang tidak sekolah mempunyai kemungkinan besar akan kurang memahami apalagi untuk memberikan motivasi bagi kelangsungan pendidikan anaknya di sekolah menengah ditambah kemungkinan lainnya seperti kemiskinan, keluarga, sehingga tidak mampu menyekolahkan anaknya sampai tamat.
Jumlah penduduk di Kelurahan Gambut yang berumur 5 tahun keatas dan pendidikan tertinggi yang ditamatkan sampai tahun 2005
Tingkatan
Jumlah orang
Tidak/belum tamat SD/sederajad
3.327
SD
3.952
SLTP
2.293
SLTA
2.772
Diploma I/II
134
Akademi
127
PT
228
Jumlah
12.733
Sumber: Monografi Kelurahan Gambut tahun 2005
Jumlah penduduk Kelurahan Gambut sampai tahun 2005 mencapai 14.094, dari jumlah tabel di atas, sisanya sebanyak 1.361 adalah penduduk di bawah usia 5 tahun.
Sedangkan pendidikan petani di Kelurahan Gambut adalah berdasarkan sample di Handil Bumi Putera dari 139 orang penduduknya, 80 orang adalah petani, hal ini berarti 57 % adalah petani.
Pekerjaan
Jumlah
Persentase
Pendidikan
Anak-anak
47
34%
Belum/sedang sekolah
Petani Pekerja
80
57%
SD-SLTP
Pegawai/karyawan
12
9%
Minimal SLTA
139
100%
Sumber: Data Ketua RT 08 Kelurahan Gambut
Sedangkan pendidikan petani berdasarkan sample di handi Negara, dari 242 orang penduduknya, 142 orang adalah petani.
Pekerjaan
Jumlah
Persentase
Pendidikan
Anak-anak
72
30%
Belum/sedang sekolah
Petani Pekerja
142
58%
SD-SLTP
Pegawai/karyawan
30
12%
Minimal SLTA
242
100%
Sumber : Data Ketua RT 13 Kelurahan Gambut
Dengan demikian, tingkat pendidikan masyarakat petani di Kelurahan Gambut adalalah dari Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Jarang dari penduduk di Kelurahan Gambut yang selesai Sekolah Menengah Tingkat Atas menjalani pekerjaan sebagai petani, mereka biasanya lebih memilih bekerja sebagai karyawan toko, ataupun jenis pekerjaan lain selain di sektor pertanian.
6.3.1 Budaya Menyekolahkan Anak
Bagi sebagian masyarakat petani di Kelurahan Gambut, upaya perbaikan status dilakukan dengan mengutamakan pendidikan anak-anak mereka, dengan prinsip bahwa pendidikan anak harus lebih baik dari pada pendidikan orang tuanya, karena tantangan yang akan dihadapi anak di masa yang akan datang jauh lebih kompleks dan rumit. Memang semangat masyarakatnya untuk mendidik anak-anak dengan banyaknya anak-anak di Kelurahan Gambut yang berstatus bersekolah, masyarakat ini juga sangat mempertahankan dan meningkatkan keimanan serta pengetahuan agama yang dimiliki anggota keluarganya. Aspek pendidikan agama mendapat perhatian yang besar dari masyarakat, sekalipun ditempuh melalui jalur pendidikan non formal dan dilakukan secara sederhana dalam bentuk kegiatan keagamaan masyarakat.
Upaya dalam pembinaan kepribadian anak ternyata tidak terlepas dari berbagai faktor yang turut mempengaruhinya. Keberadaan beberapa faktor tersebut ada yang menjadi penunjang bagi kelancaran pembentukan kepribadian anak.
Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :
a. Pendidikan Orang Tua
Orang tua sebagian besar memiliki tingkat pendidikan formal yang rendah. Meskipun pendidikan mereka rendah, diimbangi dengan mengikuti berbagai kegiatan-kegiatan non formal yang diadakan di masyarakat, misalnya melalui kegiatan ceramah keagamaan yang ada di masyarakat. Orang tua di daerah ini memiliki kesadaran yang tinggi untuk menuntut ilmu dan memperbaiki status.
Menurut Ibu Jumaah, (wawancara, Jum’at, 2 Mei 2008), pendidikan bagi anak-anak sangat penting, karena dengan pendidikan anak-anak dapat meningkatkan taraf hidup mereka dikemudian hari, karena mereka telah mendapat bekal dari ilmu-ilmu yang mereka pelajari.
b. Ekonomi Rumah Tangga
Kemampuan ekonomi sebagian besar warga masyarakat petani di Kelurahan Gambut ditunjang oleh tingginya semangat mereka bekerja, bahkan semangat kerja keras itu juga diwariskan kepada anak-anak mereka.
c. Kesadaran Orang Tua
Kesadaran orang tua tentang pentingnya pendidikan dapat membentuk kepribadian anak. Hal itu terlihat dari keaktifan para orang tua memberikan bimbingan, khususnya bimbingan keagamaan.
d. Lingkungan Sekitar
Lingkungan sekitar menjadi faktor penunjang kelancaran pembentukan kepribadian anak. Keadaan lingkungan yang lebih banyak mementingkan pendidikan akan mempengaruhi kepribadian anak, sehingga anak termotivasi mengikuti orang sekitar yang menempuh pendidikan.
6.3.2 Anak Sebagai Pekerja
Diantara 5.047 orang yang bekerja, 2.819 orang (55%) diantaranya bekerja di sektor pertanian. Dengan demikian sebagian besar orang tua atau kepala rumah tangga dari murid sekolah bekerja dibidang pertanian.
Disamping bidang pertanian, lapangan pekerjaan yang banyak menyerap tenaga kerja adalah perdagangan, industri dan jasa. Dari ketiga bidang / lapangan ini sebagian besar masih merupakan pekerja dengan pendapatan minim. Sehingga banyak terdapat anak-anak putus sekolah karena harus membantu pekerjaan seperti menjaga warung / kios, ikut bekerja di bidang industri kerajinan rotan (lampit), dsb.
Menurut Ibu Riri, (wawancara, Jum’at 2 Mei 2008), anak-anak cukup sekolah sampai bisa baca tulis, karena pada akhirnya anak-anak akan dihadapkan pada lapangan pekerjaan di lahan pertanian. Selain itu anak-anak harus diajarkan pendidikan pertanian, agar mereka dapat cukup makan memenuhi kebutuhannya. Dan yang terpenting anak-anak perempuan harus belajar dalam lingkungan rumah tangga seperti memasak.
Sedangkan menurut Ibu Yana, (wawancara, Jum’at 2 Mei 2008), anak-anak sekolah cukup sampai dia bisa bekerja, terlebih lagi anak perempuan, karena pada akhirnya akan menikah, sehingga menjadi tanggung jawab suami.
Di Kelurahan Gambut, banyak anak-anak petani yang tidak melanjutkan sekolah. Mereka lebih memilih untuk bekerja sebagian besar mereka adalah murid yang putus SLTP dan tamat SLTP. Mereka bekerja adalah dengan alasan untuk membantu orang tua. Anak laki-laki biasanya bekerja sebagai buruh bangunan, sedangkan anak perempuan kebanyakan menjadi penjaga kantin, dan warung-warung nasi. Pekerjaan-pekerjaan seperti itu mereka lakukan sambil menunggu musim tanam dan musim panen tiba.
6.4 Pendidikan Yang Diperlukan Masyarakat Petani Di Kelurahan Gambut
Bagi masyarakat petani Gambut, orang tua dan guru mendidik anak hendaklah dilakukan bahwa anak sebagai amanah, titipan Allah, mendidik dijadikan sebagai perwujudan iman dan ibadah, dengan penuh perhatian, dan santun. Yang utama yang harus dilakukan orang tua dan pendidik adalah bagaimana anak beriman dan taqwa kepada Tuhan, melalui pembiasaan, pemahaman, dan keteladanan. Memberikan sesuatu poada yang didasarkan paling bermakna bagi anak. Mendorong anak menguasai ilmu pengetahuan, keterampilan, teknologi, beriman, taqwa, berakhlak, cinta pada keberadaan dan rendah hati.
Tujuan pendidikan sebenarnya bagaimana membawa anak didik dalam mencapai kesempurnaan hidup. Kesempurnaan hidup tidak bisa dicapai hanya melalui pengembangan intelektual saja, sementara jiwanya gersang. Menghadapi era kemajuan teknologi informatika, bagaimana pendidikan dapat memelihara, membimbing, membina dan menjaga bakat-potensi yang ada pada anak didik secara optimal.
Dengan demikian pedoman yang harus dipakai agar bakat-potensi anak berkembang seimbang sempurna dan utuh berdasarkan petunjuk Allah yaitu Al-Qur’an, karena Al-Qur’an sebagai sumber agama telah dipersiapkan untuk menjaga, memelihara, membimbing, mendidik, menjaga fitrah manusia agar menjadi sempurna. Maka, sebagian besar masyarakat petani lebih memilih memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah yang bernafaskan keagamaan seperti madrasah. Selain itu, banyak juga dari mereka lebih memilih masuk pesantren ketimbang SLTP setelah menyelesaikan Sekolah Dasar.
Menurut Bapak Bawaihi (wawancara, Jumat 27 Juni 2008), apabila anak sudah menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar, hendaklah anak tersebut diarahkan pada hal-hal pelajaran yang agamis, karena dalam lingkungan pesantren atau madrasah, anak-anak akan mendapat materi yang lebih berharga ketimbang di sekolah biasa.
Sedangkan menurut H. Duan, (wawancara, Jumat 27 Juni 2008), pendidikan untuk anak hendaklah diberikan pendidikan setinggi mungkin sesuai dengan tingkat kemampuan anak, dalam hal ini anak boleh menentukan sendiri bentuk pendidikan yang dikehendaki, baik yang bersifat umum, maupun keagamaan.
Menurut Bapak Basran, (wawancara, Jumat 27 Juni 2008), pendidikan untuk anak ataupun masyarakat petani adalah pendidikan yang memberikan pemahaman tentang konsep-konsep lingkungan. Dunia pendidikan baik formal maupun non-formal adalah sama-sama untuk meningkatkan kualitas manusia, karena pembangunan manusia seutuhnya merupakan kunci keberhasilan pembangunan. Dalam ruang lingkup yang lebih menjurus, peningkatan kesadaran lingkungan harus menjadi sasaran utama pendidikan teristimewa bagi pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam demi keseimbangan dan keserasian lingkungan, yaitu pemahaman dan sikap masyarakat petani terhadap lingkungan.
Menurut Ibu Jumiah (wawancara, Jumat 27 Juni 2008), pendidikan untuk semua masyarakat yang penting adalah pendidikan yang setinggi mungkin, apalagi apabila kemampuan ekonomi orang tua mendukung, jangan sampai anak-anak putus sekolah. Pendidikan dapat diperoleh dengan berbagai cara terlebih lagi dengan semakin mendukungnya perkembangan alat-alat elektronika sekarang ini.
6.5 Latar Belakang Anak Petani Putus Sekolah
Dalam pidato pertanggung jawaban Presiden Soeharto di hadapan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tanggal 11 Maret 1978 dikatakan bahwa perluasan dan pemerataan kesempatan belajar tetap menjadi titik berat sebagai penerapan azas keadilan sosial di bidang pendidikan. Terutama bagi anak-anak indonesia yang berusia 7-12 tahun. Hal yang sama diulang kembali dalam pidato kenegaraan pada tanggal 16 Agustus 1980 (BPS, 1982 : 4).
Pernyataan tersebut sangat melegakan, namun hal ini buka berarti kita tidak memiliki hambatan yang sulit. Hambatan seperti tradisi, kebudayaan dan kebiasaan masyarakat yang kurang mementingkan pendidikan serta masih rendahnya tingkat pendapatan masyarakat di Kelurahan Gambut, sering menjadi penghambat bagi kebijaksanaan pemerintah setempat dalam bidang pendidikan.
Persepsi orang tua akan pentingnya sekolah sampai menamatkan suatu tingkat pendidikan tertentu bagi sang anak terasa masih kurang terutama bagi orang tua di Kelurahan Gambut yang bermata pencaharian sebagai petani. Sebagian orang tua di daerah pertanian menyekolahkan anak dengan alasan agar anak dapat membaca dan menulis semata agar tidak mudah tertipu orang lain.
Menurut Ibu Riri (wawancara, Jum’at, 9 Mei 2008), menyekolahkan anak tidak perlu tinggi-tinggi cukup sampai anak dapat membaca dan menulis saja. Karena dengan dapat membaca dan menulis, maka kita tidak akan tertipu dalam kehidupan, seperti apabila kita akan menghadapi kehidupan ekonomi yang makin sulit dan dengan membaca dan menulis kita sudah dapat ikut serta dalam membangun desa.
Mengingat kemampuan membaca dan menulis sudah dicapai pada kelas 3 atau 4 maka orang tua kadang kadang telah menganggap tidak perlu anaknya bersekolah sampai tamat SD. Apalagi kalau mengingat kondisi pekerjaan yang ada di pedesaan. Kemampuan berproduksi antara yang tamat SD dan yang hanya sampai kelas 3 atau 4 misalnya tidak banyak berbeda, oleh sebab itu, wajarlah kalau bukti-bukti yang ada menunjukkan sebagian orang tua yang tidak mampu melanjutkan pendidikan anaknya ke sekolah lanjutan, percaya bahwa tidak ada gunanya mengeluarkan biaya untuk pendidikan sampai tamat Sekolah Dasar (SD)
6.5.1 Net Enrollment Ratio
Salah satu ukuran yang dipakai untuk melihat partisipasi pendidikan adalah NET Enrollment Ratio (NER). Ukuran ini dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah murid pada tingkat pendidikan dan umur tertentu dibagi dengan jumlah murid pada tingkat pendidikan dan umur tertentu dibagi dengan jumlah penduduk yang seharusnya masih duduk di tingkat pendidikan yang bersangkutan. Untuk Sekolah Dasar dipakai batasan (7-12) tahun. Dengan demikian kelompok umur ini akan merupakan dasar bagi perhitungan NET Enrollment Ratio (NER). Angka maksimum NER yang dapat dicapai adalah 100. ini berarti setiap anak berusia (7-12) tahun tertampung dan masih duduk di Sekolah Dasar (BPS, 1982 : 25).
Untuk mencapai angka 100 memang sukar. Hal ini disebabkan oleh banyaknya anak umur 7-12 tahun yang tidak bersekolah karena berbagai hal. Hal ini lain yang menyebabkan sukarnya pencapaian angka 100 untuk NER adalah pada usia dibawah 7 tahun. Anak yang baru masuk sekolah pada usia 8 tahun misalnya, pada saat berumur 13 tahun anak tersebut masih duduk di SD. Anak-anak semacam ini, walaupun masih bersekolah di SD tidak akan lagi ke dalam perhitungan. Sebaliknya, anak yang masuk SD kurang dari 7 tahun pada saat si anak berumur 12 tahun, kemungkinan besar telah duduk di SLTP.
Walaupun di Kelurahan Gambut angka NER ini kecil kemungkinannya mencapai angka 100, angka yang mendekati 100 akan merupakan indikator semakin banyaknya anak usia sekolah yang dapat ditampung, atau makin tingginya partisipasi dalam pendidikan.
6.5.2 NET Enrollment Ratio Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
NER untuk SLTP akan memberikan gambaran tentang partisipasi anak usia 13-15 yahun, yang merupakan usia ideal SLTP, untuk duduk di bangku SLTP, perhitungan Net Enrollment Ratio untuk SD. Dalam hal ini kita membandingkan antara anak usia 13-15 tahun yang masih duduk di SLTP dengan penduduk di Kelurahan Gambut yang berumur 13-15 tahun. Ner Enrollment Ratio SLTP tentu saja akan jauh kecil dibandingkan NET Enrollment Ratio SD. Beberapa hal yang menjadi penyebab seperti ketiadaan biaya untuk melanjutkan atau kurangnya sarana pendidikan SLTP yang dapat menampung para lulusan Sekolah Dasar. Seperti terlihat dari data prasarana pendidikan formal yang menunjukkan di Kelurahan Gambut terdapat 11 Sekolah Dasar sedangkan SLTP hanya 2 berarti perbandingan antara jumlah SD dan SLTP labih kurang ; 11 Sekolah SD berbanding 2 Sekolah SLTP. Akibatnya,m banyak lulusan SD yang tidak dapat ditampung di SLTP.
Di Kelurahan Gambut angka NER ini sama saja dengan Sekolah Dasar, kecil kemungkinannya mencapai nilai 100, ini berarti tidak semua anak-anak usia 13-15 tahun didik di bangku SLTP. Mereka yang tidak bersekolah lagi ini mungkin karena :
a. Mereka sama sekali tidak bersekolah.
b. Masih bersekolah tapi masih duduk di SD.
c. Pernah sekolah tetapi pada tahun 2000 tidak lagi duduk di bangku SLTP atau,
d. Sudah duduk di SLTP (tetapi kecil kemungkinannya)
Jika kita melihat Net Enrollment Ratio murid SLTP di Indonesia menurut jenis kelamin, laki-laki (27,0) lebih tinggi dibanding angka untuk perempuan (23,3). Perbedaan antara 5-6 %. Ini terlihat juga untuk masing-masing daerah tempat tinggal, kota dan pedesaan. Jika perbedaan NER untuk Sekolah Dasar antara penduduk laki-laki dan perempuan hanya terlihat 2%, ternyata untuk SLTA jauh lebih besar. Hal ini mungkin disebabkan oleh anggapan orang tua bahwa anak gadis tidak perlu sekolah yang tinggi. Atau, mereka sudah melangsungkan perkawinan setelah tamat SD dan tidak meneruskan sekolah. Hal ini mungkin sesuai dengan kenyataan bahwa masih tingginya persentase penduduk wanita yang sudah kawin di bawah umur 15 tahun. Di daerah Kalimantan Ratio NER perempuan lebih besar dibanding laki-laki. (BPS, 1982 : 30).
NET Enrollment Ratio
(Sample Di Handil Bumi Putera Kelurahan Gambut)
Tingkat
Umur
Jumlah murid
Jumlah murid seharusnya
SD
7-12 Tahun
36
40
SLTP
13-15 Tahun
4
15
6.5.3 Putus Sekolah
Pembahasan masalah putus sekolah di Kelurahan Gambut menurut penelitian dan wawancara pada 6 Mei 2008, di peroleh bahwa 50% putus sekolah disebabkan oleh kemelaratan orang tua. Dua Puluh Persen adalah kurangnya perhatian dan kesadaran orang tua terhadap pendidikan dan selebihnya 30% disebabkan oleh kawin muda, tidak senang kepada pelajaran dan lain-lain.
Masalah putus sekolah dalam masyarakat petani tampaknya lebih banyak disebabkan oleh masalah sosial ekonomi dari pada masalah pendidikan itu sendiri. Kemelaratan sering menjadi titik pangkal penyebab. Karena itu dengan semakin baiknya kondisi sosial ekonomi masyarakat petani diharapkan masalah putus sekolah akan berkurang dengan sendirinya.
Dalam pembahasan putus sekolah, penduduk dibagi ke dalam tiga kelompok umur ; yaitu 7-12, 7-15, dan 7-18 tahun. Dengan sampel di daerah pertanian Handil Bumi Putera di Kelurahan Gambut menurut 12 anak putus sekolah di wawancarai, mereka yang putus sekolah di SD umur 7-12 tahun sebesar 42%. Angka yang lebih tinggi lagi untuk kelompok umur 7-18 tahun yaitu 50%. Untuk semua kelompok umur, putue sekolah penduduk perempuan lebih besar dibanding putus sekolah penduduk laki-laki.
Di daerah Kelurahan Gambut walaupun dari kelompok umur 7-12 tahun masih sedikit yang telah duduk di SLTP, putus sekolah justru terjadi pada kelompok umur 7-15 tahun. Penduduk perempuan umur 7-18 tahun di SLTP lebih tinggi dibanding putus sekolah pada murid laki-laki. Penyebabnya yaitu telah banyak di antara mereka yang melangsungkan perkawinan.
Data anak petani yang putus sekolah
(sampel di Handil Bumi Putera Kelurahan Gambut)
Nama
Putus di
Alasan
Sanainah (pr)
SMP
Biaya
Arbainah (Pr)
SD
Kesehatan
Hair (Lk)
SMP
Biaya
Wandi (Lk)
SMP
Biaya
Khair (Lk)
SMP
Biaya
Tuti (pr)
SMP
Kawin muda
Dinah (pr)
SMP
Biaya
Masdiani (Lk)
SMP
Biaya
Amat (Lk)
Pesantren
Tidak senang belajar
Sari (pr)
SD
Kesehatan
Yani (pr)
SD
Kawin muda
Irus (pr)
SMP
Kawin muda
Desi (pr)
SMP
Biaya
Sari (pr)
SMP
Kawin muda
Halimah (pr)
SMP
Biaya
Johan (Lk)
SMP
Biaya
Johar (pr)
SD
Biaya
Rini (pr)
SMP
Biaya
6.5.4 Sebab-Sebab Anak Petani Putus Sekolah
Putus sekolah di Kelurahan Gambut tidak hanya merupakan masalah pendidikan tetapi juga sebagai masalah sosial dan ekonomi. Berbagai faktor sosial ekonomi (maupun budaya) dapat mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat putus sekolah. Di samping itu putus sekolah kelihatannya agak terselubung, karena mereka langsung dimanfaatkan oleh sektor pertanian, mereka langsung menjadi pekerja keluarga. Kalau mereka sudah jenuh dengan bidang ini atau memang di daerahnya tidak ada lapangan pekerjaan lain maka mereka cenderung lari ke kota untuk mencari pekerjaan. Mereka tidak atau sudah tidak mencari pekerjaan dapat berusaha sebagai pekerja harian, buruh bangunan, tukang kantin dan lain sebagainya.
Putus sekolah bagi masyarakat petani, tidak hanya berasal dari keluarga petani miskin yang tidak mampu, tetapi tidak jarang juga berasal dari keluarga petani menengah. Hal ini banyak disebabkan oleh kurangnya perhatian dari orang tua.
Adapun sebab-sebab putus sekolah adalah :
a. Putus sekolah di SD
Dalam masyarakat petani Kelurahan Gambut, sebab-sebab putus sekolah di SD berumur 7-15 tahun di sebabkan karena biaya tidak mampu. Mereka yang putus sekolah karena tidak mampu pikirannya, menganggap pendidikan SD sudah cukup, dan karena sebab lainnya.
Sebagian terbesar anak-anak petani putus sekolah adalah dengan alasan tidak mampu, namun tidak sedikit juga penduduk yang menyatakan, mereka putus sekolah karena menganggap pendidikan yang diterima sudah cukup, karena pendidikan di SD menulis dan menghitung. Putus sekolah karena alasan tidak mampu pikiran dan pendidikan dianggap cukup, tidak berpengaruh pada anak perempuan dibanding laki-laki.
b. Putus sekekolah di SLTP
Putus sekolah di SLTP walaupun masalah biaya masih merupakan penyebab utama, akan tetapi masalah-masalah lainnya juga cukup mempengaruhi. Hal ini mengingat bahwa anak-anak SLTP yang pada umumnya telah menginjak masa remaja cenderung lebih banyak terlihat dalam berbagai jenis pergaulan baik yang mengarah ke positif maupun negatif. Kalau pergaulan atau lingkungan lebih banyak membawa pada hal-hal yang negatif, tentu saja kecenderungan untuk tidak memperhatikan sekolah yang kemudian putus sekolah bagi anak-anak petani akan cukup besar.
Banyak anak perempuan yang melangsungkan perkawinan muda pada usia sekitar 13-17 tahun, yaitu setelah mereka dianggap akil baliq. Juga merupakan hambatan bagi anak-anak SLTP meneruskan sekolahnya.
GAMBAR-GAMBAR
Gambar 1 : Anak-anak petani di Kelurahan Gambut
Gambar 2 : Petani buruh dari Hulu Sungai
Gambar 3 : Petani buruh di Kelurahan Gambut
Gambar 4 : Petani Penggarap di Kelurahan Gambut
Gambar 5 : Petani Pemilik di Kelurahan Gambut
Gambar 6 : Seorang warga yang menikah muda
Gambar 7 : Lahan Pertanian Kelurahan Gambut
Gambar 8 : Petani yang menjemput anak pulang dari sekolah
Gambar 9 : Petani yang sedang menggarap lahan
Gambar 10 : Para petani berangkat ke sawah
Gambar 11 : Petani yang singgah di warung membeli bekal sebelum ke sawah
Gambar-gambar diambil dengan HP Sony Ericsson K510i (dokumentasi pribadi)
BAB VII
KESIMPULAN
Masyarakat petani di Kelurahan Gambut memandang pendidikan sebagai suatu sarana untuk menuju kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang. Masyarakat petani Kelurahan Gambut yang hampir 100% menganut agama Islam cenderung memilih pendidikan ke arah yang bersifat agama seperti madrasah atau pesantren. Karena pendidikan yang bersifat agama, bagi mereka adalah pendidikan yang bersifat seumur hidup. Namun tidak sedikit juga dari mereka yang bersekolah di sekolah yang bersifat umum.
Kendati demikian, banyak masyarakat petani yang tidak meneruskan pendidikan mereka ke tingkat yang lebih tinggi. Kebanyakan dari mereka hanya menempuh pendidikan setingkat SD-SLTP, hal ini disebabkan oleh berbagai alasan seperti pendidikan yang diperoleh selama SD sudah cukup dan kendala pendidikan seperti biaya, kesehatan dan lain sebagainya.
Putus sekolah banyak terjadi di tingkat SLTP, karena mereka menganggap pendidikan yang didapat sudah cukup. Mereka memilih untuk terjun ke sektor pertanian untuk membantu orang tua dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun demikian mereka tetap menyadari arti pentingnya pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku :
Aris Ananta. Demografis Kualitas Penduduk dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta : Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1993.
A. Suryadi. Sekolah dan Pembangunan. Bandung : Alumni. 1982
BPS. Putus Sekolah. Jakarta. 1982
Basri MS. Metode Penelitian Sejarah. . Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada. 2006
David O., Sears, et. al.,. Psikologi Sosial, Jilid 1, Alih bahasa oleh Micahael Adriayanto dan Savitri Soekrisno. Jakarta: Erlangga. 1994
Scoot, James. Moral Ekonomi Petani. Jakarta : LP3ES. 1994
Fudiat Suryadikara. Laporan Hasil Penelitian Dan Perkembangan Masyarakat Kalimantan Selatan. FKIP UNLAM. 1979
Helius Sjamsuddin. Metodologi Sejarah. Jakarta : Debdikbud 1994
Istiqomah, dkk,. Modul 1-9: Materi Pokok Psikologi Sosial. Jakarta: Karunika Universitas Terbuka.1988
Kaloh. Kepala Daerah Jakarta : PT. Sun 2003
Kessing, Roger M. Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer Jilid 2. Jakarta: Erlangga. 1992
Koentjaranigrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Penerbit rineka Cipta. 1990
Masri Singarimbun. Metode Penelitian Survai. Jakarta : LP3ES. 1989
Moleong, L. J. Metologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosydakarya. 2001
Munandir. Ensiklopedi Pendidikan. Malang : UM Press. 2001
Muslim AP. Data Kelurahan Gambut. 2007
Muslim AP. Monografi Kelurahan Gambut tahun 2005. 2006
Redja Mudyahardjo. Pengantar Pendidikan. Jakarta : Rajagrafindo Persada. 1995
Sarwono. Psikologi dan Pengalaman. Jakarta : Erlangga. 1983
Soelaiman Joesoef. Pendidikan Luar Sekolah. Surabaya : CV Uasaha Nasional. 1979
Soeparman. Pendidikan Nasional. Surabaya : PT Bina Ilmu. 1995
Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada. 1990
Suharsimi Arikunto. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta. 1993
Sunanto. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : Rineka Cipta. 1995
Suparto. Sosiologi dan Antropologi. Bandung : Armico. 1987
Teer Har, B.Mr. Asas-asas Susunan Hukum Adat. Jakarta : Pradna Pramunta. 1960
Torsten Husen. Masyarakat Belajar. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada. 1995